teraju.id, Saprahan Melayu— Pada tahun 2021 ini, telah terjadi 5 kali banjir di Kalbar. Yang terbesar dan terparah terjadi pada akhir Oktober hingga November 2021. 5 kabupaten terendam: Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, dan Sanggau.
Banjir besar kali ini menyebabkan dampak serius berupa rusaknya infrastruktur jalan, jembatan, dan bangunan serta terhambatnya pemulihan pembangunan sosial ekonomi yang merosot akibat pandemi Covid 19.
“Banjir ini juga sudah membunuh peradaban—kotapraja dan arsitektur— dalam beberapa dekade terakhir,” ujar Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalimantan Barat, Roffi Faturrahman.
Para pakar dan tokoh Kalbar tidak tinggal diam. Mereka menggelar diskusi multiperspektif keilmuan dan kepakaran, Sabtu, 6 November 2021, di Restoran Saprahan Melayu.
Para pakar memetakan masalah banjir tahunan di Kalbar ini, antara lain: Curah hujan ekstrim karena adanya fenomena El Nino yang muncul akibat perubahan iklim global; Daerah Aliran Sungai Kapuas mengalami sedimentasi sehingga tidak mampu menampung volume air dalam jumlah besar; Program reboisasi di masa lalu tidak dilakukan secara benar sehingga bukan hanya memperparah deforestasi, tetapi juga kerugian keuangan negara; Produk Tata Ruang di Indonesia tidak pernah sinkron, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, termasuk pada tingkat departemen/dinas. Lagi pula, produk tata ruang yang ada lebih berorientasi kepada nilai kuantitas fisikal, sementara untuk nilai-nilai kualitas (sosial, budaya, karakter) yang intangible belum diperhatikan; dan terakhir, eksploitasi lahan untuk kebun sawit, penambangan emas liar, dan penebangan pohon yang masih terus terjadi kontributif memperparah dampak banjir.
Hasil diskusi melahirkan solusi mengatasi dan antisipasi banjir Kalbar di masa depan yaitu harus menggunakan dua pendekatan: Struktural dan Kultural.
Pendekatan Struktural antara lain mendorong Pemerintah membuat program (masterplan, rencana induk, dll.) untuk penanganan bencana seperti ini; Meminta Pemerintah untuk serius menyinkronkan produk tata ruang dari tingkat Pusat hingga Daerah, termasuk sinkronisasi pada tiap departemen/dinas; Meminta Pemerintah untuk memasukkan mencantumkan isu migitasi bencana (banjir, gempa, dll) dalam produk tata ruang.
Selain itu, tata ruang yang ada saat ini lebih difokuskan kepada pengelolaan daratan sehingga pengelolaan air dan udara (sebagai amanat UU Tata Ruang); Meminta pemerintah menagih kewajiban implementasi Green Accounting kepada perusahaan-perusahaan besar (kebun, tambang, dll.) yang beroperasi di Kalbar, sebagai bukti keperdulian perusahan-perusahaan tersebut kepada lingkungan, bukan semata-mata mengeluarkan Corporate Social Responsibility (CSR) dan yang tak kalah penting, meminta Pemerintah Pusat menganggarkan biaya pengerukan sedimentasi DAS Kapuas melalui dana APBN.
Adapun pendekatan Kultural dalam waktu dekat yang segera ditindaklanjuti adalah mengajak ormas etnik untuk membicarakan dan menyuarakan persoalan ini bersama-sama serta mengajak ormas etnik, keagamaan, dan lain sebagainya untuk mengangkat isu banjir yang diakibatkan oleh kondisi alam, bencana alam, maupun kesalahan pembangunan sebagai isu yang mengancam peradaban masyarakat Kalimantan Barat.
“Sungguh sangat sulit persoalan ini dapat diselesaikan oleh negara. Tapi masih ada harapan, jika masyarakat adat di bawah bendera Merah Putih bersatu,” ujar Prof. Chairil Effendy, Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu Kalbar lugas.
Diskusi terbuka ini dihadiri oleh tokoh lintas keilmuan antara lain: Dr. Ali Daud, Dra. Sri Sukarni, Prof. Dr. Chairil Effendy, M.S, Ir. Gst. Zulkifli Mulki, M.Sc. Ph.D, Jumadi Zainol, Ph,D,
Dr. Radian, Dr. Syamsul Hidayat, Dr. Hermansyah, Dr. Tris Haris Ramadhan, Dr. Muchsin, H.M. Ali Kadir, Ir. Syaiful Bachri, M.T, Ir. Hery Bastaman dan Ir. Roffi Faturahman.