terajuid, Sambas – Kebun-kebun sawit sudah menghampar di mana-mana. Batas-batas desa kami juga sudah beririsan langsung dengan kebun perusahaan sawit. Akses jalan semakin terbuka. Meskipun masih jalan tanah kuning khas jalan perkebunan sawit.
Pusat Kota Kabupaten Sambas bisa ditempuh 1,5 jam jika sedang musim kering (tidak hujan). Masyarakat Sidodadi sekarang, pagi di kampung siang di pusat Kota Kabupaten, sore sudah di kampung lagi.
Tapi hal ini akan berbeda jika curah hujan tinggi. Saat Pontianak terendam banjir, hujan sehari semalam menjelang penghujung Desember 2022 akses jalan trans menuju pusat Kota Sambas nyaris lumpuh total. Semua akses tergenang air hingga setinggi tangki minyak sepeda motor besar.
Akses jalan sungai tak bisa dipastikan mobilitasnya dengan waktu tempuh 4-5 jam. Mobilitas kelotok tidak jelas karena hanya tersisa 1 saja klotok yang beroperasi, jalur Sambas-Satai-Sepandak. Jalur sungai yang singkat bisa sewa speed boat, dengan biaya Rp 1 juta.
Bayangan akses jalan aspal menuju trans masih jauh dari angan-angan. Sudah 39 tahun penduduk berdomisili di trans Satai Sambas. Mungkin tempat yang begitu jauh dari pusat kota dengan akses yang tak mudah, adalah sebab penduduk trans yang pulang kembali ke Jawa tahun 1983 dulu. Mereka tak kuat tinggal terisolir. Hingga generasi ke-3 akses jalan masih ‘aspal basah’.
Dulu saat saya masih kecil, sambil membinjing sepatu menuju sekolah karena jalan becek dan licin, pernah berangan: andai jalan becek yang kami lalui bisa bim-salabim jadi aspal goreng. Sekarang anak saya yang menghayal jalan menuju rumah mbahnya bisa mulus beraspal. Mereka berharap demikian supaya mereka bisa lebih sering pulang kampung halaman mbahnya. Entah tahun kapan aspal basah berubah aspal goreng, semoga saja. Amin.
