Teraju News Network, Pontianak– Masyarakat perdesaan berada dalam situasi yang dilematis: pada satu sisi meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah membesarkan mereka; sebaliknya, pada sisi lain, mereka belum mampu menangkap, dan pasti tidak dapat menangkap, nilai-nilai baru yang dibawa oleh peradaban modern.
“Berbagai konflik yang tampak ke permukaan sebagai konflik kelompok etnik, sesungguhnya dapat ditelusuri jauh berakar dari goyahnya akar-akar kebudayaan masyarakat—mereka tidak mampu mengartikulasikannya dengan bahasa sederhana, kecuali menumpahkan rasa kesal yang tidak tertahankan. Situasi yang dilematis seperti itu, terlebih lagi telah memicu rasa frustrasi terpendam yang bersifat massif, tentu tidak boleh dibiarkan. Dalam konteks itulah penyadaran akan urgensi pemeliharaan tradisi lisan sangat perlu dilakukan,” ungkap guru besar sastra lisan FKIP Universitas Tanjungpura cum Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Prof Dr H Chairil Effendy, MS kepada teraju.id, Senin, 28/2/2022.
Chairil yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Kalimantan Barat menegaskan bahwa penyadaran sebagaimana dimaksud di atas sepatutnya dilakukan dengan cakupan kawasan yang luas dengan melibatkan berbagai kelompok kebudayaan. “Akan tetapi, kegiatan seperti itu memerlukan waktu, tenaga, dan sumber daya yang tidak sedikit. Ia, kegiatan serupa, seharusnya menjadi satu kegiatan besar yang ditangani pemerintah dengan berbagai elemen yang dimilikinya,” imbuhnya.
Mantan Rektor Universitas Tanjungpura yang kini membina kearifan lokal berbasis sastra lisan ini pun menegasikan bahwa pembangunan berkelanjutan, atau entah apa lagi namanya, tidak akan pernah berhasil manakala tidak mempertimbangkan atau memperhitungkan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki masyarakat.
“Langkah kecil yang mulai dilakukan di tengah masyarakat Melayu di salah satu kecamatan di Sekadau ini hendaknya menjadi pemicu kegiatan serupa di tempat-tempat lainnya,” urainya merujuk kegiatan sastra lisan yang dilakukan FKIP Untan pada 27/2/2022 di Gedung MABM Sekadau.
Program pengabdian kepada masyarakat di tengah masyarakat Melayu Sekadau, Kalimantan Barat ini dilakukan FKIP Prodi Bahasa, memiliki tujuan antara lain memberikan pengetahuan ihwal pentingnya memelihara tradisi lisan yang masih hidup di tengah masyarakat karena mengandung sistem pengetahuan, khususnya kearifan lokal, yang sangat berharga, baik bagi solusi praktis kehidupan masa kini maupun penyelesaian filosofis ke masa depan; membangkitkan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan tradisi lisan, baik dalam bentuk regenerasi pentransmisian melalui pelatihan, festival, atau sejenisnya maupun pendokumentasiannya melalui perekaman dan penerjemahan; dan, mendorong para penyimpan tradisi lisan agar merangsang generasi muda mereka untuk kembali mencintai tradisi lisan yang ada, baik yang berbentuk cerita maupun sejarah atau yang lainnya. Luaran yang diharapkan adalah muncul dan bertambahnya pengetahuan pada diri penyimpan tradisi lisan, baik aktif maupun pasif, ihwal pentingnya tradisi lisan yang mereka miliki; kesadaran pada diri penyimpan tradisi lisan aktif agar mempertahankan tradisi lisan yang masih hidup serta terus mentransmisikannya ke generasi muda; dan, kesadaran pada diri penyimpan tradisi lisan pasif agar turut serta mentransmisikan tradisi lisan kepada generasi muda.
Program ini sangat berguna bagi pembentukan ketahanan budaya masyarakat Melayu Sekadau—ketahanan budaya menjadi salah satu rekomendasi dari pembangunan berkelanjutan; pemerkuat identitas budaya masyarakat Melayu Sekadau; dan, pemerkuat mozaik kebudayaan Melayu Sekadau pada khususnya dan masyarakat Kalimantan Barat pada umumnya.
Komunitas yang menjadi sasaran program ini adalah para penyimpan tradisi lisan Melayu Sekadau. Mereka adalah para orang tua, sesepuh, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh budaya yang selama ini dikenal sebagai orang-orang yang dipandang mengetahui, memahami, dan menjadi pelaku utama dari transmisi tradisi lisan ke generasi-generasi di bawah mereka. Diperkirakan peserta yang mengikuti program ini sebanyak 20 orang, laki-laki dan perempuan.
Pelaksanaan program dilakukan melalui ceramah. Ceramah diperkaya dengan menampilkan gambar-gambar dan uraian tentang pentingnya memelihara tradisi lisan. Diberi contoh bahwa, misalnya, pemerintah di Afrika Selatan berhasil membangunan karakter dan nasionalisme dengan menggunakan cerita-cerita lisan yang mereka miliki. Hal yang sama juga dilakukan di Finlandia, juga negara-negara lain.
Dijelaskan lebih jauh oleh Prof Chairil, bahwa secara umum saat ini masyarakat dunia telah masuk ke dalam Era Revolusi Industri 4.0 sebagai hasil dari adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Mungkin hanya sedikit kelompok manusia yang tidak tersentuh oleh kemajuan di abad ke-21 ini, ialah mereka yang memang sengaja tidak mau bersentuhan dengan peradaban modern seperti suku terasing di kepulauan Andaman, atau karena keterisolasian yang masih sulit diatasi seperti sejumlah suku kecil di wilayah pegunungan di pulau Papua.