Kemajuan yang diperoleh umat manusia pada abad ini merupakan hasil dari proses panjang secara bertahap, berkesinambungan, dan tanpa henti. Manusia yang semula hidup sangat sederhana sebagai manusia purba selama ribuan tahun telah mengalami evolusi yang mengagumkan. Dari banyak makluk hidup ciptaan Tuhan, tampaknya hanya manusia yang mampu melawan dan mengalahkan banyak rintangan dalam hidupnya dan memperlakukan alam secara fungsional, berkat akal budi yang dimilikinya. Mulai dari manusia gua yang bertulang belakang bungkuk dan tidak tahan melihat sinar matahari hingga menjadi manusia yang mampu berjalan tegak yang mampu mengembangkan kebudayaan; mulai dari manusia pemburu binatang untuk sumber makanan, manusia petani yang menetap menanam dan mengolah hasil pertanian, manusia industri yang memproduksi barang-barang dengan mesin, hingga menjadi manusia paskaindustri yang selalu memegang gawai mengendalikan pergerakan peradaban dunia. Tidak mengherankan homo sapiens ini, sebagian, cenderung menjadi jumawa dan menantang keesaan Sang Penciptanya.
Salah satu karya besar manusia adalah kemampuan mereka berkomunikasi. Mula-mula yang terdengar dari alat ucap mereka mungkin suara-suara yang tidak jelas, tidak beraturan, dan tidak berarti, apalagi bermakna; mungkin cuma desis-desis, lalu suara-suara yang lebih lantang, mengandung vokal, menirukan bunyi-bunyi yang diproduksi alam sekitar, termasuk binatang-binatang purba. Setahap demi setahap mereka menemukan vokal dan konsonan serta menata atau mengkombinasikan bunyi-bunyi tersebut menjadi kata dan kelompok kata dan akhirnya klausa dan kalimat-kalimat pendek; lalu terjadi konvensi, kesepakatan, sehingga terjadilah proses komunikasi di antara mereka. Setelah umat manusia fasih bercakap dan berbincang, otak pun semakin mampu melakukan proses memorisasi yang semakin canggih, maka seluruh sistem pengetahuan mereka disimpan dalam bentuk lisan. Pada masa ini hadirlah masyarakat ‘kelisanan primer’ (primary orality)
Konon 3.200 SM mulai ditemukan aksara di Mesopotamia dan 600 SM di Mesoamerika. Penemuan aksara di berbagai kelompok masyarakat manusia di banyak belahan dunia pada masa-masa berikutnya membawa perubahan besar dalam peradaban umat manusia. Sistem pengetahuan yang semula tersimpan di benak para penyimpan tradisi lisan mulai dituliskan. Penulisan dilakukan di atas batu (prasasti), lempengan tembaga (perintah raja), kulit kayu, daun lontar, daun papyrus, kertas kulit merang, dan kertas cap air (watermark)—setelah manusia di Eropa menemukan teknologi canggih memproduksi kertas. Para raja pada masanya dulu melakukan fungsi pengayoman kepada para terpelajar, orang yang pandai menulis, sebagaimana terlihat di kerajaan-kerajaan Jawa dan Melayu. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya menuliskan gagasan, pikiran, imajinasi mereka sehingga dari situ lahir karya-karya sastra yang indah dan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi kehidupan umat manusia.
Setelah melalui proses panjang sejak 1438 M, Guttenberg akhirnya menemukan mesin cetak pada 1450 M. Dengan adanya mesin cetak semua hasil olah pikir manusia dapat dicetak atau dilipatgandakan secara massif, didistribusikan, dan dipelajari oleh manusia dari mana pun, terlebih lagi setelah alat transportasi semakin hari semakin memudahkan mobilitas barang dan jasa. Akan tetapi, neuron-neuron di otak manusia terus-menerus berkerja sehingga ditemukanlah komputer, internet, dan berbagai produk teknologi canggih yang memungkinkan umat manusia dapat mengakses informasi dari belahan dunia mana pun selama 24 jam tanpa henti melalui gawai (gadget) handphone yang ada di dalam genggaman tangannya.
Hasil gilang-gemilang yang dicapai umat manusia saat ini tentu saja tidak menghilangkan tradisi lisan; sebaliknya, melalui kecanggihan teknologi, umat manusia memasuki tradisi ‘kelisanan sekunder’ (secondary orality). Kelisanan sekunder merupakan satu fenomena komunikasi yang menggabungkan atau memasukkan unsur-unsur keberaksaraan dan teknologi ke dalam proses komunikasi. Maraknya media sosial seperti Youtube, Face Book, Instagram, TikTok, WhatsApp, dan lain sebagainya semakin meneguhkan keberadaan kelisanan sekunder itu.
Bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tradisi kelisanan sekunder, di tengah masyarakat Kalimantan Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, masih terdapat banyak kelompok masyarakat yang menjaga produk-produk tradisi kelisanan mereka; meskipun mereka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai masyarakat bertradisi lisan primer. Mereka masih menyimpan bedande’, ensangan, kana, dongeng-dongeng, mantera, teka-teki tradisional, pantun, syair, dan entah apa lagi. Semua produk tradisi lisan tersebut mengandung sistem pengetahuan masyarakat yang patut dipelihara dan dilestarikan. Melalui produk-produk tradisi lisan dimaksud kelompok-kelompok masyarakat tadi mengembangkan kebudayaan dan peradaban mereka. Melalui produk-produk tradisi lisan itu juga dapat dilihat, dipelajari, dan dipahami kewaskitaan, kebijaksanaan, atau kearifan hidup yang telah membawa mereka mampu menghadapi deraan zaman yang keras dan datang bertubi-tubi. Berdasarkan ilmu pengetahuan itulah mereka dulu dapat memelihara keharmonisan hidup manusia dengan alam: alam lestari, budaya harmoni, manusia memiliki jati diri.
Gempuran peradaban modern yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih kerapkali menyebabkan masyarakat di perdesaan atau di kampung-kampung, dengan berbagai alasan, sedikit demi sedikit meninggalkan khazanah tradisi lisan yang mereka miliki. Sesungguhnya sikap kurang bijaksana tersebut tidak dapat ditimpakan kepada mereka secara seratus persen. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada dinamika kebudayaan daerah ikut berkontribusi atas lemahnya pemeliharaan khazanah tradisi lisan. Kebijakan ekonomi kapitalis yang bergerak di atas logika-logikanya sendiri, sehingga eksploitatif terhadap hutan dan berbagai jenis tambang—emas, intan, bauksit, dan lain sebagainya—telah merusak habitat khazanah kebudayaan yang sudah ratusan menjadi persemaian nilai-nilai kebudayaan. (kan)