Oleh: Khairul Fuad
Satu dari beberapa dalil naqli terkait eksistensi Nabi Muhammad saw. berbunyi “Dan tidak kami utus engkau (Nabi Muhammad saw.) kecuali rahmat untuk sekalian alam (QS al-’Anbiya’: 107). Eksistensi Nabi Muhammad saw. selalu diingat dan dirayakan saat tibanya Rabi’ul Awal dalam penanggalan bulan Islam. Bahkan, catatan ilmiah, kemungkinan besar dalam wacana historis dan catatan imajinasi kreatif sastrawi tercatat eksistensinya.
Merujuk dalil naqli di atas melalui frasa rahmatan lil ‘alamin, kasih-sayang untuk seluruh alam, dapat diungkapkan terdapat konsep kosmis, yaitu terpumpun masalah kosmos. Terdapat dua sisi, makrokosmos dan mikrokosmos di dalam kosmos itu sendiri, yang tertuju kepada alam semesta dunia besar dan dunia kecilnya, manusia. Rahmatan lil ‘alamin berdimensi alam semesta dan manusia dibangun dalam keseimbangan karena risalah Nabi Muhammad saw.
Konsep mikrokosmos sebagai dunia kecil, dunia manusia, terdapat aspek-aspek yang melingkupinya tidak lepas dari jangkauan kerisalahan Nabi Muhammad saw. agar diperoleh kelayakan atau kepatutan. Merujuk hadist Nabi bahwa diutusnya untuk menyempurnakan akhlak, terkait erat dengan kelayakan dan kepatutan itu sendiri. Mengajak untuk memerhatikan etika dan memahami norma dalam membangun interaksi sosial.
Satu dari berbagai aspek itu adalah sastra yang tidak lepas dari jangkauan atas risalah Nabi Muhammad saw. Sastra bagian dari dunia kecil manusia (mikrokosmos) ikut berperan membangun peradaban manusia untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, etika dan norma dibangun untuk mewarnai konstelasi sastra yang selayaknya dan sepatutnya. Bagian dari kemanusiaan, sastra tidak mengalami destrukturisasi, tetapi restrukturisasi pada masa awal Islam sebagai kerisalahan Nabi Muhammad saw, yang selalu diperingati maulidnya di tiap tahunnya.
Konstelasi sastra telah mendahului tumbuh-kembang sebelum konstelasi kedatangan Islam dengan perubahan munajjaman (bertahap). Sebelumnya, masa jahiliyah (age of ignorance) juga diwarnai geliat sastra yang sangat selektif di kalangan masyarakat Arab. Buktinya, terdapat istilah sya‘ir mu‘allaqat tanda syair hasil seleksi yang digantungkan di Ka’bah pascapublikasi. Geliat kesastraan ini kemudian direstrukturisasi atas kerisalahan Nabi Muhammad saw.
Terutama yang kentara adalah restrukturisasi penggambaran perempuan cenderung erotik (gazalah) di dalam syair konvensional. Melalui konvensi terkait perempuan ini, ruang kesastraan direstrukturisasi menuju esoterik tentu cenderung divinitas. Restrukturasi sastra ini dapat dipandang sebagai upaya mendudukkan perempuan pada tempat yang semestinya. Di saat masa jahiliyyah, perempuan termarjinalisasi sehingga terjadi semacam misogini.
Restrukturisasi tersebut mengindikasikan bahwa perempuan tidak semata objek melalui eksploitasi seksualitas, tetapi keberpihakan atas ketimpangan sosial secara gender. Dalam wacana sastra ditunjukkan jelas bahwa kerisalahan Nabi Muhammad membawa semangat keberpihakan kepada perempuan. Bahkan, ekspektasinya dijangkarkan semaksimal mungkin dengan menempatkan perempuan pada ruang kesucian sebagai tolok-ukur memasuki ruang spiritual, baik akhlaki maupun falsafi.
Secara tidak langsung, kerisalahan Nabi Muhammad saw. sangat signifikan merestrukturisasi sastra dari cenderung erotik berubah menuju esoterik. Penggambaran terhadap makhluk berubah pemujaan dan pengharapan kepada khalik sebagai semangat dan kehidupan baru, Menurut kritikus Toha Husein, kehidupan baru yang dimaksud adalah kehidupan Islam dan bertumpu pada kesederhanaan dengan semangat Islam. Restrukturisasi ghazalah yang semata erotik-seksualitas, menjadi ghazalah yang esoterik-spiritualitas.
Perkembangan berikutnya, restrukturasi sastra menunjukkan inovasi signifikan terkait dengan sastra keagamaan. Seperti telah disinggung sebelumnya, arus akhlaki dan falsafi merupakan arus-utama yang mewarnai sastra keagamaan yang sepertinya bertumpu awal pada konvensi ghazalah secara epistemologis. Dua arus utama tersebut tetap mewarnai sampai sekarang, bahkan sampai di era milineal sekarang ini.
Pada awal persinggungan dengan Islam, konsep ghazalah dapat dijangkarkan pada jangkauan dekat lebih sederhana. Akan tetapi, perjalanan lebih mendalam, konsep tersebut dijangkarkan pada jangkauan jauh lebih canggih (sophisticated) terkait dengan arus falsafi. Kecanggihan ini dapat dipahami sebagai pemikiran terkembang disebabkan persingguhan dengan sisi-sisi lain yang massif. Ditambah, tokoh-tokoh falsafi ini menggunakan sarana ungkapan sastra sehingga daya linuwih menjadi wajar sebagai proses retrukturisasi sastra.
Tentu yang lebih penting, kedatangan Nabi Muhammad saw. dengan risalah Islamiyah telah berperan penting mengubah alam kecil manusia mikrokosmos melalui restrukturisasi sastra. Pengaruhnya terhadap restrukturisasi sastra mengembangkan arus yang secara substansi menyaran kepada sisi zahir dan batin dalam ungkapannya. Dua sisi itu sepertinya tidak berlebihan mengisyaratkan dua arus sastra keagamaan yang sarat dengan akhlaki dan falsafi. Sastra bagian dari peradaban tidak luput dari jangkauan kerisalahan Nabi Muhammad saw. yang mauludnya selalu diperingati dengan berbagai cara dan tentu beragam cara-pandang. Allahumma salli ‘ala Sayyidina wa Maulana Muhammad.
Sudut Kantor 181021
Penulis, peneliti Balai Bahasa Kalbar