in ,

Upaya Menginternasionalkan Bahasa Indonesia

oleh: Fransisca Ripert *)

Bahasa Indonesia sejatinya memiliki potensi untuk diakui secara resmi sebagai bahasa internasional. Melebihi bahasa induknya, yaitu bahasa Melayu. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dengan penutur terbanyak di Asia Tenggara dan persebarannya mencakup 47 negara. Pun, tidak kurang dari 428 lembaga di seluruh dunia mengadakan Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).

Namun, kabar kurang sedap tercium dalam sepuluh tahun belakangan. Salah satunya dari tetangga kita, Australia. Minat belajar bahasa Indonesia di negeri kanguru itu terus merosot. Jumlah pelajar sekolahnya menurun tajam. Di level perguruan tinggi pun banyak universitas yang harus menutup program kelas bahasa Indonesia lantaran sepi peminat.

Penyebabnya mungkin ada kaitannya dengan yang dikatakan sosiolinguis Vineeta Chand. Sosiolinguis dari Universitas Essex, Inggris, itu berpendapat bahwa ketertarikan terhadap suatu bahasa lebih ditentukan oleh faktor eksternal, semisal pandangan positif terhadap para penutur asli bahasa itu atau budayanya.

Maka tidak peduli betapa “gampang” dipelajari dan pentingnya bahasa Indonesia bagi hubungan Australia-Indonesia, jika pandangan mereka terhadap kita negatif, orang akan berpikir dua kali untuk mempelajari bahasa kita. Mereka melihat betapa hukum di Indonesia serba tak pasti (dan makin kacau dengan revisi KUHP), kasus-kasus HAM berat belum tertangani, korupsi masih merajalela. Apalagi sejak awal, Indonesia bukan negara kaya. Makin habislah alasan warga luar untuk mempelajari bahasa Indonesia.

Namun, jangan pesimistis dengan fakta-fakta yang sulit kita ubah dalam waktu dekat itu. Bahasa Indonesia masih memiliki daya tarik dan peluang menjadi bahasa internasional. Mari kita tiru Prancis dan Korea Selatan (Korsel).

Studi Kasus Bahasa Prancis

Baca Juga:  Film: Antara Hiburan dan Edukasi

Bahasa Prancis merupakan bahasa resmi di 29 negara. Menurut WorldPopulationReview.com, pada 2023, jumlah penutur bahasa Prancis di seluruh dunia mencapai 321 juta orang. Angka ini menempatkan bahasa Prancis dalam lima bahasa yang paling sering digunakan di dunia, setelah Inggris, Mandarin, Hindi, dan Spanyol.

Bagaimana bahasa dari negara yang “hanya” berpenduduk 68,5 juta jiwa ini dapat berkembang semasif itu? Tentu, ini tak lepas dari sejarahnya. Pada masa lalu, Prancis begitu agresif berekspansi ke negara lain. Wajarlah bila bahasanya menyebar ke berbagai negara yang pernah dikuasainya, yaitu negara-negara di Afrika, Amerika, Asia, termasuk Eropa sendiri.

Pada masa perdamaian (baca: setelah PBB berdiri), pemerintah Prancis pun terus mengupayakan agar jumlah penutur bahasa Prancis dari warga non-Prancis (frankofon) makin bertambah. Caranya tentu bukan lagi memakai jalur kolonialisme, melainkan dengan dana. Demi menarik minat penduduk dunia, mereka mendirikan dan mengoperasikan pusat-pusat kebudayaan Prancis, menawarkan beasiswa bagi sekolah-sekolah Prancis, berikut langkah-langkah taktis lainnya.

Produk-produk seni serta sastra juga berandil dalam meningkatkan daya pikat bahasa Prancis. Antara lain, melalui musik, film, novel, dan sebagainya. Bahasa Prancis sendiri sudah menjadi bahasa resmi PBB dan digunakan secara luas di bidang politik, pendidikan, seni, sastra, diplomasi, maupun ekonomi. Hal-hal semacam ini dapat menjadi alasan kuat untuk mempelajari bahasa Prancis, bahkan bagi seorang pelajar yang sedang bingung menentukan bahasa keduanya.

Studi Kasus Bahasa Korea

Kisah di balik perkembangan bahasa Korea lebih menarik. Sebab, bahasa ini mulanya hanya digunakan oleh sekitar 72 juta orang, gabungan dari 48 juta penduduk Korsel dan 24 juta warga Korea Utara.

Baca Juga:  Melestarikan Bumi dengan Edukasi

Dibayang-bayangi oleh kemegahan kultur Tiongkok dan samurai Jepang, budaya Korea bisa melejit pesat. Menurut Ann Wan Seng dalam Rahasia Bisnis Orang Korea, buku terbitan tahun 2013, negeri ginseng ini pernah dicap sebagai pesakitan Asia. Bahkan, kondisinya lebih parah daripada Indonesia dalam pemerintahan Soekarno. Barulah pada 1980-an, perekonomian Korsel melesat 12 persen per tahun. Kemajuan itu berlanjut, hingga hari ini Korsel mampu berdiri sejajar dengan Jepang dan Tiongkok.

Lalu sejak 1990-an, bahasa Korea menyebar melalui “penjajahan budaya”. Globalisasi budaya Korea ini kita kenal sebagai Gelombang Korea (K-wave). Melalui usaha promosi yang kompak antara pemerintah Korsel dan rakyatnya, terutama para artisnya, kita jadi tahu berbagai aspek kebudayaan Korsel. Hari ini, negara mana yang warganya tidak terkena demam drama Korea (drakor), musik pop Korea (K-Pop), komik, gim, atau masakan Korea?

Demam itu menjalar mula-mula ke daratan Tiongkok, Hong Kong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Amerika Serikat, Amerika Latin, lalu Timur Tengah. Demam Korea juga baru saja menjangkiti industri sepak bola. Masih segar dalam ingatan kita betapa hebohnya Piala Dunia 2022 yang dibuka secara ikonik oleh Jeon Jung-kook, penyanyi dan penari tenar dari grup vokal BTS.

Bukan hanya melalui pendekatan budaya, kemajuan Korsel di sektor industri telah membuat orang dengan sukarela mempelajari bahasanya. Mereka belajar bahasa ini dengan harapan memiliki kesempatan kerja di perusahaan-perusahaan Korsel, bermitra bisnis, melanjutkan kuliah, atau mungkin menikah dengan orang sana.

Bisakah Bahasa Indonesia Menginternasional?

Bahasa Indonesia sebenarnya memiliki modal besar untuk menjadi bahasa internasional, bukan hanya sebagai bahasa resmi di ASEAN. Yang utama, tentu karena penuturnya di dalam negeri saja sudah 270 jutaan orang. Ditambah warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri atau menikah dengan warga negara lain dan mengajarkan bahasa Indonesia kepada keluarganya. Tinggal bagaimana tindak lanjut dari pemerintah dan warga.

Baca Juga:  Muhajirin Yanis: Puasa Dapat Tingkatkan Produktivitas Kinerja

Strategi “penjajahan budaya” ala Korsel, umpamanya, bisa kita tingkatkan. Sejauh ini, strategi tersebut cukup. Lagu, film, sinetron, dan novel kita banyak digemari di Malaysia. Bahkan, ada beberapa penerbit yang berburu khusus novel-novel penulis Indonesia untuk diterjemahkan ke bahasa Melayu. Grup-grup musik kita juga sering konser dan dielu-elukan di negeri jiran. Jangan lupa, lagu-lagu viral kita di YouTube, TikTok, Instagram banyak dikover dan digabungkan (stitch) oleh warganet se-ASEAN.

Beberapa warganet Malaysia sampai terang-terangan mengomel di forum-forum atau media sosial, betapa bahasa Melayu seperti kian tergerus oleh bahasa Indonesia di sana. Dalam beberapa tahun, keluh mereka, mungkin generasi muda Malaysia lebih menguasai dialek Indonesia daripada Melayu.

Sedikit-banyak, kita sudah berada di jalur yang benar untuk mengglobalkan bahasa Indonesia. Tinggal, PR-nya bagi pemerintah, bagaimana untuk lebih serius melancarkan strategi-strategi tepat guna dalam rangka menyuburkan penggunaan bahasa Indonesia di mancanegara.

Lalu bagi warga awam seperti kita, pertanyaannya selalu sama: seberapa cinta dan tertibnya kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik? Jangan sampai kita hanya bangga terhadap angka-angka perkembangan penutur bahasa Indonesia, tetapi tulisan atau lisan kita sendiri amburadul saat menggunakannya.

(Penulis, Penyuka bahasa Indonesia, diaspora asal Pontianak yang kini tinggal di Arles, Prancis Selatan)

Written by teraju

Mengapa Biaya Kesehatan di Malaysia Lebih Murah Dibanding Indonesia?

Kisah Menarik Angelika Putri dalam Program Pertukaran Pelajar Asia Kakehashi