Oleh: Ambaryani
Suara takbir malam ini terasa lebih mendayu dan menyayat hati. Malam takbir kali ini terasa lebih dingin dan membekukan hati. Rasanya tak menentu. Hati, pikiran dan badan rasanya sudah tak sejalan. Berkecamuk.
Iya, kami sekeluraga melewati hari yang cukup panjang dan terasa begitu berat pada lebaran Iedul Qurban 2021 ini. Kami harus benar-benar mengorbankan rasa cinta kami karena Allah lebih cinta pada adik kami.
Puasa Arafah kami kemarin terasa sangat berat kami lalui. Senin pagi jam 6 biras menelepon sambil sesegukan menangis, mengabarkan kondisi gawat adik bungsu kami. Evi.
Saya dan suami berunding, apa yang harus kami lakukan selain memohon kepada pemilik jiwa. Kemudian disepakati, kami berbagi tugas; suami bersama Umak sembari istirahat karena fisik terasa berat. Sejak adik di ABK pikiran tak menentu dan tak bisa tidur lelap. Saya menyusul ke rumah sakit, setelah menuntaskan pekerjaan kantor terlebih dahulu. Tak tega mendengar biras sudah berkecamuk. Meskipun kami tahu bahaya covid yang terus mengintai.
Sampai di parkiran rumah sakit, saya sempat googling dulu. Apa yang harus dilakukan jika saturasi oxigen pasien covid rendah. Setelah dapat bahan bacaannya saya kirim ke biras.
Menjelang jam 8 saya sampai di ruang isolasi rumah sakit. Adik sudah tak sadarkan diri. Saya bisikkan salam di telinganya. Berharap dia menyahut, seperti hari sebelumnya saat saya datang dan waktu itu dia merespon salam saya.
Baju dan kain tapihnya basah keringat. Saya mengajak biras mengganti baju, kain dan pampers adik. Kami betulkan posisi baringnya, agar bisa bernafas lebih lega. Kemudian saya lap keringat yang membasahi kening dan lehernya. Saya ikat rambutnya sambil saya ajak biacara.
“Bangun sayang, kami nunggu Evi sembuh ni. Mau ajak pulang kalau Evi cepat sembuh. Bangun sayang…”, suara saya bergetar, walaupun saya sudah bertekad tak mau meneteskan air mata di sana. Tapi tak bisa. Melihat Evi sudah sangat kesulitan bernafas menggunakan cungkup oksigen. Matanya tetap tertutup tak merespon apapun saat diajak komunikasi.
“Kita ngaji dulu ya…”, saya pegang tangan kanannya. Saya lihat ujung kuku sudah mulai membiru.
Sambil terus mengaji di sampingnya saya usap kepalanya, perut dan terus memegang tangannya. Saya juga tak henti memperhatikan layar dan alat pengukur saturasi oxigen dalam tubuhnya. Saya berusaha mengeluarkan suara saat mengaji. Tapi lama-lama suara saya hilang sendiri beserta seiring lelehan air mata. Kaki adik saya pegang, dingin sejak saya pertama kali datang. Saya usap dengan minyak kayu putih, saya gosok-gosok supaya hangat kembali. Saya sentil-sentil ujung jarinya agar dia merespon. Karena di hari Minggu, saat saya pijit ujung-ujung jari kakinya dia merespon, ‘sakit’. Di hari sebelumnya juga, setiap tarikan nafasnya yang sesak saya ajak dia untuk istighfar. Dia merespon, mulutnya berucap ‘Astaghfurulla’.
Hari ini saya menunggu respon sambil terus berdoa. Tapi matanya tetap pejam. Kemudian saat saya lihat alat di ujung jari mati, saya minta biras segera memanggil perawat. Minta dicek. Saat perawat mengecek ini dan itu, saya lihat tarikan nafas Evi sudah tak sesering sebelumnya. Jeda tarikan nafasnya sudah sangat lama.
Sambil memegang kaki kirinya, mulut saya terus komat-kamit. Biras yang meegang kaki kanan istrinya terus berusaha memanggil-manggil. Beberapa kalimat diiringi dzikir.
Semula hanya 1 perawat, kemudian datang lagi 2 yang lain beserta dokter. Alat-alat medis yang lain dipasang. Tangan kaki adik dijepit. Petugas medis terus berusaha, kami masih berharap Allah berikan keajaiban dan hari itu bukan janji adik kami untuk dijemput. Saya dan biras sama-sama tak bisa menahan tangis.
Melihat orang yang kami sayang melewati sakaratul maut, membuat hati kami tersayat. Kami menangis sambil memegang kakinya yang sudah pucat. Dokter kemudian merekam detak jantungnya, setelah hasil rekam keluar.
“Mohon maaf Bapak Ibu, kalau dari hasil pemeriksaan yang saya lakukan jantung Ibu …sudah tidak berdetak lagi, dan ibu juga sudah tidak bernafas”.
Mendengar itu, suara tangis yang sejak tadi ditahan kemudian sama-sama pecah. Inilah kalimat yang tidak ingin kami dengar. Inilah yang ditakutkan.
Biras terduduk sambil masih memegang kaki istrinya. Innalillahiwainnailaihirojiun….
Astaghfirullahhalazim. Dia terus beristighfar agar dia tak lupa pada sang kuasa. Bahwa di atas segala ikhtiar yang sudah kami lakukan ada Allah pemilik jiwa.
“Bik Ambar…ini mimpi ‘kan? Aku mimpi ‘kan? Bunda…” Dia masih terus menangis sambil mengelus perut sesuatu dalam perut istrinya.
“Sabar ya… Allah lebih tau yang terbaik untuk Evi”, saya tak bisa berkata banyak karena saya sendiri rasanya masih tak percaya jika adik bungsu kami telah Allah panggil.
Tak lama kemudian saudara dan kedua orang tua biras datang. Aba Yus suami saya juga muncul. Aba berusaha menenangkan biras. Sebenarnya kami sama-sama shock Evi sudah benar-benar pergi. Selamat jalan Husnul Maghfirah (Evi), seperti apa yang selalu kau ucapkan selama ini. Allah sebaik-baik tempat kembali. Semoga Allah ampuni dosa-dosamu, Allah terima segala amal ibadahmu. Tenang dan damailah di sana. Amin.