Tiba-tiba saya teringat istilah “bahasa bersayap’ yang sangat populer di tengah masyarakat Kalbar. Kasus-kasus yang bermuara hukum, muncul dari ucapan seseorang yang dipahami berbeda oleh orang lain.
Istilah bahasa bersayap’ ini seringkali dipakai untuk menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya kata yang tersusun dan makna dasar, tetapi juga tentang makna yang tersirat.
Istilah ini kerap menjadi pengingat, bahwa kita harus lebih cermat dan teliti dalam memaknai ucapan orang lain. Lebih jauh lagi, kita tidak boleh lugu dalam menanggapi pernyataan orang lain.
Ketika dahulu saya masih aktif sebagai jurnalis, terutama ketika berhadapan dengan para politikus, saya sering diperingatkan agar harus ekstra hati-hati memahami maksud dari lisan mereka.
Tujuannya, biar tidak salah tangkap dan kutip. Salah tangkap maksud ucapan, atau salah kutip pernyataan, bisa bahaya untuk koran kami yang harus dijaga reputasinya. Kami sepakat untuk menjaga reputasi agar media dipercayai pembaca.
Bahaya lagi, salah kutip urusannya bisa panjang. Kami harus melayani hak koreksi. Kami harus membuat ralat untuk sebuah kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari. Apalagi kadang perintah koreksi muncul dalam bentuk somasi.
Somasi sudah mengarah pada jalur hukum. Jalur yang benar, sebenarnya, tetapi juga tidak dikehendaki. Energi yang dikeluarkan banyak dan sia-sia. Padahal kesalahannya sepele.
Tetapi, hari ini istilah bahasa bersayap seolah dilupakan publik, atau tepatnya, sebagian publik. Beberapa peristiwa ucapan seseorang dipahami sepotong, lalu (terasa digoreng), sehingga menjadi lain maknanya, dan publik pun heboh karenanya.
Tapi, kini saya tak mendengar lagi orang mengingatkan perlunya memahami ucapan orang dengan hati-hati. Belum saya dengar orang menyebut si lugu yang tak pandai memahami bahasa bersayap. Sang pengingat masih diam. Atau, mungkin dia tak kuasa atau tidak perduli lagi karena sekarang dia tahu bahwa bahasa sudah tak bersayap lagi. Sayap itu sudah tak diperlukan. Entahlah. *