in

Cangkang Bahasa

Oleh: Yusriadi

Kosa kata tidak tunggal. Satu kosa kata selalu berkaitan dengan kosa kata lain. Ketika sebuah kosa kata dipadupadankan dengan kosa kata lain, barulah dia membentuk makna utuh.
Kaitan ini tergantung konteks. Kadang orang menyebutnya medan makna.

Saya lebih sering memperkenalkan istilah cangkang. Dalam beberapa tulisan tentang kepunahan bahasa saya menggunakan istilah ini.

Nama cangkang ini merujuk kepada nama bagi rumah hewan jenis moluska. Cangkang ini penting untuk melindungi mereka dari berbagai hal.

Bahasa pun memiliki cangkang. Ada pelindung yang membuat bahasa tidak dalam keadaan bahaya. Ada pelindung yang membuat orang mengingat bagian-bagian dalam sistem yang berada di bawah naungan cangkang itu.

Contoh sederhana dalam budaya berladang. Budaya berladang adalah cangkang yang melindungi kata-kata yang terkait dengan perladangan. Kata-kata itu antara lain, istilah untuk tahapan-tahapan kegiatan berladang, alat-alat perladangan, jenis-jenis padi, bagian-bagian dari padi, binatang-binatang hutan—terutama hama padi, rumput-rumput yang tumbuh di ladang dan tumbuhan di hutan sekitar ladang, ritual perladangan, kepercayaan dan tabu seputar perladangan, dan lain sebagainya.

Maka, ketika ladang hilang, jumlah kosa kata yang dilupakan akan sangat banyak. Ratusan. Bahkan mungkin ribuan kosa kata.

Lebih dari itu, pengetahuan tradisional dan kearifan lokal seputar perladangan, hutan dan lingkungan, juga ikut hilang. Kehilangan ini pasti berpengaruh pada banyak hal dalam kebajikan hidup, termasuk jaringan sejarah dan asal usul.

Jangan sebut kenikmatan jagung muda, timun muda, emping pulut, ngkaruk, dll, yang sebagiannya juga ikut hilang… Nilainya… sangat tidak ternilai.

Karena itulah pada titik ini, saya menyampaikan kritik terhadap kebijakan perladangan pemerintah kita. Seharusnya, tradisi berladang dirawat dalam konteks lestari khazanah lokal. Idealnya, kebijakan pengadaan sawah besar-besaran di wilayah perladangan mempertimbangkan cangkang bahasa seperti ini. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

Sinyal Bahwa Nyala Literasi itu Masih Ada

Rehal: Identitas dan Makna