Oleh: Nur Iskandar
Ciri-ciri kiamat digambarkan dengan datangnya makhluk cerdas bermata satu, namanya Dajjal. Kiamat adalah kehancuran yang dideskripsikan seperti gempa disusul tsunami. Korbannya tak terperi.
Sebagai praktisi media, saya merasakan kini kita berada di tengah gempa disusul tsunami informasi sehingga butuh konsentrasi yang ultra-tinggi dalam mencapai esensi sebuah data dan fakta yang benar-benar-benar sehingga menjadi rujukan dalam mengambil keputusan yang tepat untuk hidup nikmat lagi selamat.
Coba lihat berita media, sedikit-sedikit dikabarkan tokoh A meninggal dunia. Tokoh B murtad. Tokoh C dikuliti habis-habisan rumah-tangganya, hingga manusia lebih tercela daripada anjing. Semua mudah membuncah di berita media. Bermula dari cuitan di media sosial kemudian digoreng media daring–selanjutnya sampai ke media pro…
Saringan? Nyaris tak berlaku lagi. Mess pelapis dari satu editor ke editor lainnya blong. Apapun sesukanya bisa tampil di media. Tata aturan yang berlaku di Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) kena tabrak semaunya saja. Entah bagaimana sikap Dewan Pers membaca berita-berita yang jauh dari sisi informatif, edukatif dan kontrol sosial seperti itu.
Alih-alih mencerdaskan masyarakat, yang ada keharmonisan semakin tercabik-cabik persis prilaku Dajjal sebagai idiom hancurnya kehidupan….kini privasi telah hancur dalam hal adat, budaya, norma, hingga kebebasan menjalankan agama maupun kepercayaannya masing-masing.
Lantas apa yang kudu kita kerjakan? Pertama tingkat baca kita mesti lebih tinggi lagi dari sekedar membaca. Kita tidak lekas percaya pada satu naskah saja dari apa yang kita baca. Apalagi kabar tak tentu rimbanya itu langsung kita sebar luaskan ke mana-mana. Kalau begini, kita turut menjadi agen Dajjal. Kita kudu baca dengan tekun dan teliti sesuatu isu itu, lalu kita ambil perbandingan dengan media-media profesional lain di mana seleksi masih berlangsung secara ketat. Inilah yang kita sebut sebagai referensi…
Saya bersyukur 30 tahun menekuni dunia media. Saya punya sikap skeptis, tidak mudah percaya sebelum saya bertanya sendiri dengan tokoh sentralnya. Meliput dengan mata kepala sendiri.
Bagaimanapun jika kita mendapati sebuah naskah menyesakkan hati, membangun emosi–baca lebih banyak lagi–cari referensi yang absah. Saya bersyukur dalam 30 tahun terbiasa mengedit hal-hal yang mengaduk-aduk emosi sampai soal iman sekalipun–soal seksualitas sekalipun–banyak kasus kelompok sempalan dan dunia malam yang telah diliput–sudah punya kekebalan tersendiri. Tetapi orang-orang di sekeliling, saya pikir, dan saya merasakan, banyak yang mudah terpancing emosi. Padahal sesuatu yang dibahas itu sama sekali tidak penting–bahkan bohong serta fitnah belaka. Sampai di sini kita harus selamatkan kekotoran informasi dari dampak tsunami teknologi pergejetan melalui membaca lebih banyak referensi sekaligus verifikasi.
Cek dan richeck menjadi sesuatu yang pasti harus kita lakukan. Lebih baik melihat dengan mata kepala sendiri. Menanyakan kebenarannya kepada para tokoh sentralnya sendiri. Ini di wilayah-wilayah privasi tentunya. Untuk urusan politik, apalagi sampai Pilpres, ini harap maklum, banyak analisa dan permainan caturnya. Kita tidak boleh osmosis dengan pilihan-pilihan, dukungan-dukungan, ini persis sepakbola, adalah permainan. Besok si A menang, lusa si B. Biasa. Yang luar biasa, antara Klub A dan B beradu lalu kemudian mereka bisa duduk satu meja buat pesta, sementara pendukung baku-pukul–baku hantam. Itulah yang terjadi di lapangan yang rrruar biasa menjadi “luar binasa”. Luar binasa inilah kiamat-kiamat yang kini akrab hadir ke tengah hidup bermasyarakat.
Kita perlu saling ingat-mengingatkan pada kelestarian alam dan lingkungan agar vise versa dari kiamat kiamat hidup bermasyarakat. Menjaga harkat dan martabat kemanusiaan dengan membangun kohesi sosial bermedia sosial–atau bermedia di dunia kesejagatan global.
Sebagai pembaca kita harus menjadi editor bagi diri pribadi maupun keluarga. Membangun sikap selektif dan tidak mudah terpancing ‘osmosis’. Sebagai jurnalis juga bekerjalah dengan profesional di mana berita tidak hanya mengutip statement atau pernyataan, tetapi pertimbangkan cek dan richeck sekaligus aspek edukatif bagi masyarakat. Jika tidak, berita yang kita ekspose justru menghancurkan harmoni sosial. Alih-alih mendapatkan pahala kolektif, justru dosa berjamaah….Menjadi Dajjal bermata satu, di mana tidak melihat laporan dengan dua mata–balanching report! Cek dan ricek.
Ketiga, penegak hukum mesti turun tangan melakukan penegakan hukum. Termasuk Dewan Pers. Media-media abal-abal kudu ditertibkan. Medsos yang provokatif dan agitatif pun harus dibina dengan perangkat UU yang tersedia.
Esensi dari UU Pers sederhana dalam membina demokrasi di mana setiap orang punya kebebasan berekspresi, yakni bebas tapi bertanggung jawab. Silahkan ekspose sesukanya–tapi kudu siap bertanggungjawab. Jangan lempar batu tapi sembunyi tangan. Itulah sikap makhluk ciri-ciri kiamat besar bernama Dajjal Makjud. *