Oleh Yusriadi
Sejak lama saya sudah memasuki dunia sastra. Masa kecil di kampung halaman di Ulu, di ladang kala gotong royong dilakukan, di dalam kelambu menjelang tidur. Entah kala bersua teman sebaya, atau nenek dan para tetua, aneka sastra lisan didengar-dituturkan. Pantun jenaka, kisah pelanduk yang cerdik, kisah hantu yang menakutkan, atau kisah menggugah imajinasi tentang penjelmaan dua dunia, lagu-lagu tradisional diulang-ulang tanpa rasa bosan.
Lalu ketika sekolah, buku-buku cerita mulai dibaca. Pada masa yg sama novel cinta dan silat mulai dipertukar-pinjamkan. Lalu, kata-kata puitis mulai ditulis, surat-surat rahasia dikirim-terimakan. Hingga kemudian dunia kepenulisan mulai ditekuni, cerpen, novel dan puisi mulai disantap lebih nikmat. Sejumlah karya dihasilkan, dipersembahkan kepada publik. Lengkap kiranya, dari sastra tradisional hingga sastra modern. Mulai dari sastra lisan, hingga sastra tulisan.
Membaca buku Gegara Sastra karya Khairul Fuad atau Mas Fu, mengingatkan saya pada jalan panjang sastra dan bersastra. Bedanya, saya tidak sampai pada level sastrawan karena satu dan lain keterbatasan, tetapi beda level ini tidak menghalangi untuk menyimak perjalanan sastra dan sastrawan. Tidak membatasi nikmat dan hikmatnya membaca karya-karya mereka.
Justru itu karya mereka memang khas dan kekhasan itu dipaparkan dengan sangat jelas di sini. Dari A hingga Z tersusun rapi.
Buku ini, selain memancing ingatan tentang sejarah dan perkembangan sastra, juga memantik inspirasi tentang lokalitas dan konstruksi sastra, serta tentang kepentingannya untuk kehidupan. Sastra tidak berangkat dari ruang kosong, begitu katanya. Sastra juga bisa menimbulkan gara-gara.
Sajian yang padat dengan gaya bahasa yang berlanggam, menambah nilai karya ini. Tak bosan membacanya, meski berulang-ulang.
Membaca buku beliau ini membuat kita terpana. Terima kasih Mas Fu atas sumbangannya. Terima kasih bukunya. Gegara-nya menyebabkan saya membuka memori lama.