Pontianak banjir durian. Di mana-mana ada durian. Di tengah pasar yang ramai, atau di sisi jalan yang lengang, ada hamparan durian. Di kala pagi atau tatkala malam melarut, juga ada durian.
Harganya juga variatif, mulai yang tak berlabel yang berarti “masih” mahal, hingga yang berlabel Rp5000 per buah. Pilihan ada pada pembeli dengan keuntungan dan resiko masing-masing. Pembeli untung jika pandai memilih dan menawar, pembeli kadang-kadang juga bisa rugi jika dia hanya tahu nama durian saja dan kemudian “main beli” tanpa mengira.
Malam itu sepulangnya dari Ambawang, wilayah pinggiran utara Pontianak Timur, kami singgah di sebuah lapak durian. Kami memilih lapak durian yang mencantumkan harga, dengan pertimbangan lebih enak bertransaksi di tempat seperti itu.
Saya langsung duduk di kursi-meja plastik untuk santap durian, dan menyerahkan pilihan kepada anak untuk memilih durian yang dia mau. Kali ini saya ingin mereka belajar mengenal buah durian. Mereka perlahan-lahan harus tahu bahwa buah durian itu tidak satu jenis. Walaupun namanya “durian” tetapi variasinya sebenarnya sangat banyak. Variasi-variasi itu memiliki tampilan dan rasa yang berbeda.
Atau, sekurangnya mereka mulai tahu bagaimana membedakan durian baru yang segar, gurih dan nikmat sebagai raja buah, dan durian lama yang sudah merekah, hampir busuk, pedas dan sebenarnya berbahaya.
Tapi, penjual cukup lihai. Mereka justru yang menyodorkan beberapa buah kepada rombongan anak-beranak itu.
“Ini bagus…”
“Ini bagus…”
Melihat pembeli memperhatikan buah yang disodorkan tanpa reaksi menolak, dia mencongkel ujung pisau kecil pada durian. Dia membuka dengan mudah.
Sesi durian memilih usai. Anak istri saya mulai menyantap beberapa durian yang disodorkan penjual. Saya belum tertarik menyentuhnya.
Sebagai orang asal pedalaman Kapuas Hulu, saya memiliki pengalaman soal durian. Masa kecil dahulu, jika musim durian tiba, hari-hari kami ada di bawah pohon tinggi itu. Bahkan, sering kali bermalam di sana. Bukan untuk makan buah, tetapi untuk “ramai-ramai saja”.
Ada durian milik bapak yang artinya milik kami sendiri, ada juga durian milik kakek atau moyang yang dikongsi dengan sepupu atau sepupu-sepupu. Di “Bukit Orang Tua” di Ulu Pengkadan (Sukaramai), ada durian beberapa hektar milik moyangnya moyangnya moyang kami. Durian itu kini dikongsi oleh lebih dari 10 jenjang keturunan yang tersebar di antero kampung-kampung pedalaman.
Ketika anak istri menyantap durian saya menghampiri tumpukan durian yang diletakkan di atas langgak-langgak. Saya lihat sepintas duriannya masih baru. Saya mendekat memastikannya. Tangkai buahnya bagus.
Beberapa buah durian sangat familier bagi saya. Ada jenis durian koban, durian abu, durian lanyut, durian porin… dan juga durian buaya.
Saya mengambil durian buaya. Buahnya paling besar, dengan duri-duri juga besar tetapi tumpul, sapat-sapatnya besar dan kelihatan garis dan gelombangnya. Hampir mirip durian bangkok, hanya “bulunya” berbeda. Selama di Pontianak, saya jarang melihat durian buaya di pasaran.
“Ini, durian dari mana Bang?”
“Punggur, Pak”.
“Ada ya durian jenis ini di Punggur? Ini kami menyebutnya durian buaya”.
“Adalah…”
Saya mengambilnya. Memilih yang terbaik menurut saya. Dia juga mempromosikan durian yang saya pilih katanya durian bagus.
Penjual membukanya dengan pisau kecil yang tadi dipakai untuk membuka durian yang disodorkan kepada keluarga saya. Tentu saja kesulitan. Durian baru tidak mudah membukanya, apalagi dengan pisau kecil.
Dia mengambil pisau yang lebih besar, dan baru berhasil setelah berjuang. Saya yakin penjual yang normal tidak akan mau menawarkan durian begini kepada pembeli. Tapi kalau pembeli sudah memilih, ya…dibuka.
“A…agak kurang bagus. Sisi-sisinya ada busuk”. Dia berkomentar lebih dahulu. Saya melihat dengan pasrah.
“Tak apa, masih bisa dimakan”.
Ya Allah… saya lupa. Durian buaya itu jenis durian buah besar dan isi tebal. Karena itu dibandingkan durian lain dia lambat masaknya. Ketika durian lain sudah masak bagus, durian ini baru mulai. Dan setiap durian yang masak, fase awal pasti masaknya tidak sempurna. Kami menyebutnya “Durian Ubung”.
Karena durian ini sudah dibuka dan itu artinya membeli, saya siap membayar kelupaan saya. Ingat nama durian, tapi lupa sifat durian… Ha ha… kena deh. (*)