in ,

Kecerdasan Buatan dan Kesiapan Sumber Daya Manusia Indonesia

Oleh: Sunu Wibirama (Universitas Gadjah Mada)

Lupakan sejenak Pilpres 2024, atau seberapa tinggi rangking kampus di Indonesia. Berita tanggal 2 Juni 2021 di CNBC Indonesia yang merangkum pidato Puan Maharani ini menarik untuk kita renungi, “Kecerdasan Buatan Merajalela, Puan: Apakah Kampus RI Siap?”Apakah kampus siap? Maksud saya apakah NEGARA kita siap?

Kecerdasan buatan (AI) adalah teknologi yang sudah dikembangkan sejak 6 sampai 7 dasawarsa yang lalu. AI berawal dari pemanfaatan jaringan syaraf tiruan untuk keperluan angkatan laut Amerika, dengan Frank Rosenblatt sebagai salah satu peletak fondasinya.

Pada tahun 1958, Rosenblatt berhasil mendemonstrasikan konsep Perceptron, sebuah jaringan syaraf tiruan dengan lapisan tunggal (Single Layer Perceptron) yang mampu membedakan “punch cards” yang ditandai di sebelah kiri dan “punch cards” yang ditandai di sebelah kanan. Dengan kata lain, Perceptron mampu mengajari komputer untuk membedakan masalah-masalah yang dapat dipecahkan dengan persamaan linear. Meskipun demikian, butuh perjuangan panjang bagi para peneliti AI untuk bisa sampai pada titik sebagaimana hari ini. Implementasi jaringan syaraf tiruan atau neural networks tidaklah sesederhana konsep awalnya, sebab berbagai permasalahan riil di dunia didominasi oleh problem-problem non-linear yang jauh lebih kompleks. Hal inilah yang diungkap oleh Marvin Minsky (pendiri MIT AI Lab) dan Seymour Papert (wakil direktur MIT AI Lab sekaligus inisiator Lego Mindstorms robotics kits) dalam buku yang mereka tulis: Perceptron (1969) [2].

Walaupun dua orang penulis ini mengakui kemungkinan munculnya “Multilayer Perceptron” atau jaringan syaraf tiruan dengan lapisan jamak yang memungkinkan penyelesaian problem-problem non-linear, mereka meragukan kemungkinan melatih “Multilayer Perceptron” untuk menyelesaikan permasalahan klasifikasi yang lebih kompleks. Berkat dua orang inilah, riset jaringan syaraf tiruan di Amerika sempat mengalami stagnasi panjang selama 15 tahun (AI winter) karena demikian banyaknya peneliti yang mengamini dan percaya bahwa jaringan syaraf tiruan tidak memiliki prospek cerah di masa yang akan datang. Pada tahun 1985, kebuntuan riset jaringan syaraf tiruan yang panjang mulai terpecahkan dengan dipublikasikannya hasil penelitian David H. Ackley, Geoffrey E. Hinton, dan Terrence J. Sejnowski dengan judul “A Learning Algorithm for Boltzmann Machines”. Paper ini mendemonstrasikan bagaimana jaringan syarat tiruan dengan titik yang saling terkoneksi mampu menyelesaikan “search problem” dan “learning problem”, yang menjadi langkah awal kemampuan jaringan syarat tiruan untuk menyelesaikan permasalahan non-linear. Satu tahun setelahnya, David E. Rumelhart, Geoffrey E. Hinton, dan Ronald. J. Williams memublikasikan sebuah paper “Learning representations by back-propagating errors”, sebuah paper seminal yang menjadi cikal bakal teknik untuk melatih jaringan syaraf tiruan dengan lapisan dalam (Deep Learning) [4]. Deep Learning inilah yang saat ini menjadi “backbone” pengenalan wajah di Facebook, translasi bahasa di Google Translate, pengenalan suara di Apple Siri, dan berbagai aplikasi cerdas lain.

Perlu diingat bahwa implementasi Deep Learning di industri tidaklah mencapai tahap seperti hari ini sebelum Alex Krizhevsky, Ilya Sutskever, dan Geoffrey E. Hinton memublikasikan paper mereka “ImageNet Classification with Deep Convolutional Neural Network” pada tahun 2012. Paper ini mengungkap secara detail kemampuan Deep Learning mengalahkan teknik kecerdasan buatan lain dalam mengklasifikasikan puluhan ribu citra menjadi beberapa kategori, dengan penurunan galat sebesar 11% dibandingkan teknik tradisional terbaik. Sampai hari ini, paper ini sudah disitasi oleh paper lain sebanyak 82.480 kali, sebuah jumlah yang sangat fantastis.

Apa pelajaran penting dari cerita di atas? Jika Anda mengamati secara detail, penerapan teknologi tinggi (high technology) seperti Kecerdasan Buatan (AI) membutuhkan waktu dan dukungan yang komprehensif. Single Layer Perceptron tidak akan menjadi Deep Learning jika tidak ada komunitas yang konsisten melakukan penelitian jaringan syaraf tiruan meskipun seretnya pendanaan negara, sebagaimana dilakukan oleh Geoffrey E. Hinton dan peneliti lain yang sevisi dengannya. Butuh waktu 54 tahun (dari tahun 1958 sampai 2012) untuk membawa ide sederhana di atas kertas menjadi sebuah teknologi dahsyat yang berdampak luas mengubah lanskap perekonomian sebuah negara.

Jika kita bertanya lebih jauh, apa yang membuat para peneliti begitu yakin penelitian mereka kelak akan membawa dampak yang sedemikian signifikan? Tentunya, visi yang jelas dan rencana yang terukur, dengan keyakinan bahwa kemampuan komputasi dan big data akan mengakomodasi pembuktian ide mereka di masa yang akan datang. Hal ini perlu didukung dengan proses pengembangan sumber daya manusia untuk melahirkan peneliti-peneliti baru yang mampu melanjutkan visi besar dari para inisiator di bidang ini.

Kanada menjadi salah satu negara yang melahirkan ribuan peneliti AI di berbagai perusahaan besar Silicon Valley serta berbagai universitas terkemuka di dunia. Berkat tangan dingin tiga tokoh besar di bidang AI–Geoffrey E. Hinton, Yoshua Bengio, dan Richard S. Sutton–Kanada menjadi salah satu negara utama tujuan peneliti dan pelajar yang ingin berkiprah di bidang AI [6].Maka saat kita bertanya, “Apakah universitas siap dengan tantangan maraknya riset kecerdasan buatan?”, jawabannya bisa kita lihat dengan bagaimana komitmen kita untuk melatih sumber daya manusia dengan keilmuan dasar yang kokoh, di mana matematika–bidang ilmu yang menjadi bagian penting dari AI–mendapatkan porsi selayaknya Hal ini pernah saya sampaikan di harian Kompas pada 16 Februari 2021.

Program pelatihan singkat yang mengajarkan penguasaan bahasa pemrograman kontemporer yang mendukung proyek AI telah banyak dilakukan. Sayangnya, pelatihan-pelatihan ini seringkali mengabaikan konsep fundamental yang diperlukan untuk menyelami bidang ilmu ini: penguasaan bidang ilmu matematika dan relevansinya pada teknologi AI kontemporer. Selain itu, AI adalah bidang ilmu yang berkembang sangat cepat karena kuatnya sinergi akademisi dan industri. Artinya, mempelajari teknologi AI tanpa melihat sudut pandang akademisi dan industri ibarat makan sate tanpa lontong, tidak lengkap dan tidak lezat. Jika saya pribadi ditanya, adakah pelatihan, workshop, atau seminar yang cocok untuk pemula dan secara komprehensif membahas tentang dasar-dasar matematika untuk AI, sudut pandang akademisi dan industri terkait AI, tren proyek AI di masa yang akan datang, cara membaca paper-paper AI, serta kemampuan teknis yang dibutuhkan untuk menguasai teknologi AI terkini, saya akan merekomendasikan salah satu program IEEE Systems, Man, and Cybernetics Indonesia Chapter tahun ini.

Tentu pelatihan seperti ini perlu kita posisikan sebagai “pintu masuk” untuk membuka program jangka panjang dalam rangka penyiapan sumber daya manusia yang kompeten. Kurikulum pendidikan tinggi, infrastruktur pendidik, kapabilitas laboratorium untuk melakukan riset-riset AI, dan kebijakan politik yang mendukung strategi nasional riset AI jangka panjang menjadi PR besar yang menanti calon pemimpin negeri ini.

Pertanyaan yang lebih penting bukanlah “Siapa Presiden 2024?”, tapi “Apa yang akan dilakukan para calon pemimpin itu untuk membawa SDM Indonesia menghadapi derasnya perkembangan ekonomi yang didorong oleh teknologi AI?”

Tabik, Yogyakarta, 8 Juni 2021

Written by teraju.id

Lomba Mikroblog dan Infografis berhadiah 60 Juta

Ekonomi Orang Bugis di Pulau Kabung Bengkayang