in

Kembali ke Kampus

Sekitar pukul 15:30. Saya dalam perjalanan pulang dari sawah. Menengok pematang yang terputus karena diterjang limpahan air hujan dari parit sebelah atas.

Di jalan yang kulewati ini terserak banyak lubang penuh dengan air lumpur limpahan parit. Tidak dalam. Tetapi, karena letak yang berserakan, hampir seluruh badan jalan membuat sejumlah pengendara motor jatuh tergelincir.

Sebelum berbelok masuk ke jalan desa, saya melihat seorang ibu terjatuh di jalan yang berlubang-lubang itu. Roda depan motornya terperosok masuk ke kubangan yang agak dalam. Tak urung, sebagian pakaiannya menjadi kotor.

Ibu mencoba menghidupkan kembali motornya. Cukup lama tak berhasil.

“Kalau Ibu tak keberatan, biarlah motor ini saya dorong ke rumah ujung desa itu. Mungkin, jika sudah bersih dari lumpur, dapat.”

“Terima kasih, Pak. Wah malah merepotkan.”

Tidak berapa lama, memang. Motor sudah dapat distater kembali.

Di atas motornya, setelah berbasa basi sejenak, ibu itu bertanya;

“Di emperan tempat saya duduk tadi ada papan nama Dr. Petrus Bejo, siapa itu, Pak?”

“Ooo, itu? Saya!. Bu”.

“Apakah Bapak pernah mengajukan lamaran untuk mengajar di sebuah perguruan tinggi di kota?”

“Tidak pernah Bu. Sejak saya pensiun lima tahun lalu total hanya di rumah saja. Menjadi orang desa.”

“Tetapi, ada nama Prof DR Petrus Bejo dalam daftar dosen yang mengajar. Bahkan nama itu sudah terjadwal masuk di di kelas saya minggu lalu. Pak! Saya orang sini. Rasanya, tak ada orang lain selain Bapak sendiri.”

“Kalau bukan, lalu siapa, ya?” Sambungnya ragu.

“Kebetulan nama Bapak juga masuk kelas malam ini sebelah kelas saya. Pukul 19:30, Coba uruslah, Pak. Sayang. Siapa tahu memang Bapak. Untuk mewariskan ilmunya ke kami-kami ini.”

“Baiklah Bu. Nanti petang saya ke sana. Terima kasih”

“Lantai tiga. Naik lewat tangga kanan gedung. Ruang ke empat sebelah kiri adalah ruang dosen. Nama Bapak juga tertempel di sana. Sebelum kuliah dimulai bapak Ketua Jurusan juga sering ada di ruang itu. Langsung temui saja.” Katanya sambil menjalankan motornya.

Rasanya agak aneh kembali masuk sebuah kampus setelah lama meninggalkan suasana kehidupan para akademisi. Dengan ragu, sepeda onthel saya parkir di ujung timur. Seberang tangga samping kanan.

“Selamat malam Pak Petrus!” Suara tukang parkir. Belum lagi saya menjawab, ia melanjutkan. Katanya.

“Pak pasti tidak tahu siapa saya!. Saya Dion, di FIC dulu!”

“Bruder Dion?!”

“Ya, saya. Itu dulu. Sekarang jadi tukang parkir di sini. Bapak mau ketemu Prof Yosafat, ya? Sejak minggu lalu sudah ditunggu! Ayo, saya antar ke atas.”

Sambil menaiki tangga ia banyak cerita setelah ke luar dari biara, sepuluh tahun lalu.

Ia tidak pulang kembali ke kampung halamannya karena rumah orang tua angkatnya telah dijual setelah ibunya meninggal. Dan, semua tetangga tidak tahu dimana bapaknya, sekarang. Mungkin juga telah meninggal. Atau, kembali ke Jawa.

Syukurlah, suatu waktu ia berjumpa dengan Prof Yos ketika ia menjadi tukang semir di terminal. Mereka berkenalan. Kini ia menjadi supir pribadi Prof Yos sekaligus tenaga serabutan di rumahnya. Bahkan ia pun dapat kamar sendiri di sebelah garasi.

“Suatu hari saya melihat Bapak di pasar besar. Saya cari tahu kawan-kawan biara dulu, ternyata Bapak ke daerah ini, setelah pensiun”.

“Saya bercerita banyak tentang Bapak ke Prof Yos. Ternyata ia sudah kenal Bapak.” Sambungnya.

Di depan pintu ruang dosen ia nenunjuk kepada seseorang yang sedang asyik berbicara dengan para dosen yang lain sambil setengah duduk di tepi meja.

bercelana hitam dan baju lengan panjang lorek galur kecil warna biru muda yang digulung sampai sekitar siku, terkesan santai. Kumis putih tebal dipadu dengan muka yang lonjong terlihat tidak terlihat sama sekali sebagai profesor terpandang.

Ia tampak kebapakan bagi para dosen muda yang asyik duduk berderet mendengarkan ceritanya. Sebentar menoleh ke arah saya sambil melambaikan tangan kanan. Lalu meneruskan obrolannya.

Akhirnya, ia menyapa saya dan mengajak ke ruangnya. Kami berdua berjalan menyusuri lorong kelas. Setelah kelas ke empat dari ruang dosen tadi, kami belok kanan. Masuk ke ruang tunggu. Pintu Ruang Prof Yos berada di pojok timur laut ruang itu.

Di sebuah papan pengumaman “SELAMAT DATANG PROF DR PETRUS BEJO. KEHADIRANMU AKAN MEMPERKUAT JURUSAN KITA MERINTIS ERA EBT”.

Ia menyerahkan jadwal lengkap dengan silabus mata kuliah yang harus saya ampu sambil mengantar saya ke sebuah kelas.

Petang ini, saya kembali berdiri di depan kelas sambil menatap dua puluh pasang mata para milenial yang sebaya dengan cucu saya. Mereka sedang mempersiapkan diri memasuki era abad 21 New Era Renewable Energy-era Energi Baru Terbarukan.

Sorot mata mereka menyiratkan keraguannya terhadap kemampuan kakek tua yang berpenampilan orang desa ini. Dan, hati ini bergetar.

Ketika ayam di sebelah rumah berkokok, saya terkejut. Ternyata itu semua hanya mimpi.

Di catatan aplikasi Mi Fit tertulis, ‘Tidur lelap 5 jam 54 menit dengan nilai 82. Itu berarti di atas 81% dari pengguna aplikasi itu’. Di catatan akhir tertulis, ‘Kualitas tidur baik’.

22-02-2022, Pakem Tegal
Leo Sutrisno

One Comment

Written by Leo Sutrisno

Kiai Asep Lantik PC Pergunu Kubu Raya

Silaturahmi Ketua Umum HIPMI Kalbar Bersama Rektor Universitas Tanjung Pura Pontianak