Oleh: Yusriadi
Diskusi terpumpun yang dilaksanakan oleh Badan (Balai) Bahasa di Pontianak, pekan lalu sungguh mengesankan. Banyak hal tentang perkembangan dan pengembangan sastra dan komunitas sastra di Kalbar diungkap dan dibahas.
Gairah peserta diskusi luar biasa. Mencerminkan optimisme dan semangat berkarya. Gahar.
Diskusi ini menunjukkan bahwa sastra Kalbar hidup dan bakal terus hidup. Diskusi ini mengindikasikan sastra Kalbar memiliki masa depan, dan tetap memiliki masa depan.
Corona yang meredupkan suasana, hanya berimbas satu sisi saja, tidak semua aspek dalam perkembangan dan pengembangan sastra. Sekurangnya, dari sisi komunitas, komunitas yang ada di Kalbar saat ini jumlahnya banyak dan bertahan hidup. Mereka masih ada. Dari sisi karya, karya sastra –termasuk karya popupler, lahir satu per satu.
Tinggal, soal mutu yang masih menjadi perdebatan. Apakah karya sastra yang lahir dari komunitas lokal itu, bermutu? Apakah komunitas yang banyak itu, berbobot?
Tetapi, saya tidak ingin membahas soal mutu itu. Ada sesi lain. Kawan-kawan tentu sudah mengenal forum bedah sastra, dan banyak yang bersedia membedahnya. Banyak dokter sastra atau asisten dokter sastra, atau sekurangnya perawat sastra yang sering merasa sangat jago jika sudah mengoperasi karya orang lain. (Bahkan, mungkin saya salah satunya yang merasa begitu)
Bukan saat ini. Saat ini, jika dibuatkan roadmap-nya, adalah saat memupuk semangat berkarya. Karena hampir tidak kita temukan orang yang profesional dalam bidang ini di Kalbar, yaitu orang yang “pekerjaannya” dan fesen-nya sastrawan– maka pupuk yang baik untuk para pekarya daerah saat ini adalah apresiasi. Mereka perlu pujian, mereka perlu penghargaan. Afirmasi. Itulah pupuk yang terbaik untuk periode ini.
Lalu, kapan dan bagaimana pujian dan penghargaan itu diberikan? Kiranya, sebuah momen atau acara khusus perlu diselenggarakan. Jika di Bali ada Ubud Festival Writers, maka di sini bisa diadakan Kapuas Festival Writers atau Kapuas Writers Festival.
Pada momentum itulah dipilih komunitas sastra terpilih dan karya sastrawan terbaik diberikan penghargaan dengan penghargaan yang ada isinya. Pada saat itulah panggung untuk monologer disediakan dan buku-buku baru dirayakan.
Memang peserta diskusi terpumpun banyak yang berharap gawai itu diselenggarakan pemerintah karena ada dinas dan lembaga yang beririsan langsung dengan hajatan itu. Hanya, yang diharap tidak ada di sana. Tidak diketahui apakah mereka peduli atau tidak? Sebuah pertanyaan reflektif muncul: mengapa Anda berharap banyak pada pemerintah?
Lho… sebenarnya komunitas bisa menggarap sendiri. Menggarap sendiri, menilai sendiri, menghargai sendiri, menyediakan panggung sendiri, berkocak di atas panggung sendiri, dan lalu menikmatinya sendiri.
Pada akhirnya, biarlah orang di pemerintahan tidak sempat peduli. Biarlah pemerintah hanya simbol saja. Kalau saat itu negara cuma bisa hadirnya samar-samar saja, maklumi sajalah… Kita ikhlas kok… (*)