Oleh: Syukron Wahyudhi
Menapaki sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadan tahun ini, sudah seyogyanya momen ini tidak boleh kita biarkan lewat begitu saja. Sehingga menjadi ‘rutinitas’ tahunan yang pada akhirnya mereduksi nilai spiritualitas di dalamnya.
Momen di penghujung puasa Ramadan ini selayaknya kita renungi bersama, sudah sejauh mana kita mampu mengendalikan diri kita, mengenali diri kita, hingga tahap ‘mengenali’ Tuhan kita?
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa amaliyah puasa memang menjadi kunci penting dalam meraih keagungan spiritual, atau dalam upaya mendekatkan diri kita kepada Sang Maha.
Hal ini dibuktikan dengan hadirnya amalan puasa dalam hampir semua agama hingga aliran kepercayaan yang ada. Walaupun dilakukan dalam bentuk dan metode yang berbeda, agama-agama lain, hingga aliran kepercayaan pun memiliki anjuran berpuasa dalam doktrin keagamaannya.
Fenomena ini tentu menjadi cerminan betapa menahan hawa nafsu yang ada dalam diri—yang dimanifestasikan dengan berpuasa—menjadi kunci penting untuk meningkatkan nilai spiritualitas seseorang.
Dalam literasi keislaman, puasa yang dalam bahasa Arab disebut as-shiyaam atau as-shaum yang berarti “menahan”, makna dari kata “menahan” ini sendiri bisa diartikan dalam banyak aspek. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin kemudian membagi puasa dalam tiga level.
Pada tataran level pertama adalah shaumul umum (puasanya orang awam), yakni puasa yang hanya sekadar menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara syariat, seperti tidak makan dan minum.
Level kedua adalah shaumul khusus atau puasanya orang saleh. Puasa ini menurut Imam Ghazali tidak hanya menahan diri untuk tidak makan dan minum, tetapi juga menahan anggota badannya untuk tidak bermaksiat, seperti menjauhkan telinga dari pendengaran yang tidak baik, lisan yang berkata buruk, tangan dan kaki yang mengerjakan dosa.
Apabila seseorang sudah berhasil melalui level yang pertama dan kedua tadi, maka masuklah ia pada level paling tinggi yakni shaumul khususil khusus atau puasanya para nabi dan wali. Puasa yang bahkan tidak boleh terbesit sedikitpun di dalam hati dan pikirannya keraguan akan kuasa Allah.
Oleh karenanya, memasuki hari-hari terakhir pada Ramadan tahun ini, hendaklah kita merenungi pada ‘level’ mana puasa kita? Adakah kemajuan dari Ramadan tahun kemarin? Renungan ini kita lakukan dalam rangka ingin meraih keagungan spiritual melalui berpuasa. Keagungan ini tergambarkan yang dalam bahasa Emha Ainun Nadjib bahwa bukan hanya manusia, bahkan ‘Tuhan pun Berpuasa’.(*Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak/Akademi Riset LP2M IAIN Pontianak)