in

Modal Sosial di Dusun Sidodadi, Sepantai

Oleh: Yusriadi

Sejumlah warga sedang mengemas pentas untuk acara keagamaan, sore itu. Ada yang memasang tenda, ada yang memasang salon, ada yang mendekorasi-desain, ada yang angkut-angkut barang.

Di sisi yang lain, sejumlah ibu-ibu sedang menyiapkan makan makan malam untuk penceramah dan tokoh desa. Beberapa lagi mengatur makanan yang dibawa ibu-ibu kampung, memasukkan ke dalam plastik dan menstaplesnya.

Semuanya, seperti mengalir begitu saja. Masing-masing mengambil peran, dan tahu apa yang harus dilakukan. Setiap orang berkontribusi terhadap kegiatan yang digelar hari itu: Isra’ Mi’raj 1443 H. Canda tawa terdengar memperlihatkan keikhlasan mereka bekerja sama.
Sekretaris Desa Sepantai, Pak Turiyono, yang didapuk menyampaikan kata sambutan pada awal acara Isra’ Mi;raj mengatakan bahwa kegiatan ini adalah inisiatif warga. Bukan prakarsa desa.

Tapi, ungkapan itu hanya merendah. Pemerintah desa juga membantu menyukseskan acara ini. Kendaraan yang dipakai mengangkut penceramah dari Sambas menuju Satai, adalah speed boat milik desa. Bayangkan jika tidak disediakan pengangkutan, penceramah juga tidak akan bisa sampai di kampung di hulu Sungai Sambas ini. Kegiatan malam itu tidak akan terlaksana seperti direncanakan.

Perihal kebersamaan warga dalam menyukseskan kegiatan memang sudah menjadi modal sosial masyarakat di sini. Jangankan kegiatan besar dan gawai publik sepert Isra’ Mi’raj ini, dalam urusan pribadi juga dilakukan.

Jika ada warga yang sakit berat, inisiatif bantuan langsung diberikan: setiap keluarga mengumpulkan iuran untuk membantu biaya berobat. Tenaga juga diberikan. Ada cerita heroik mengenai itu. Dahulu, ketika transportasi darat tidak semudah sekarang, ada cerita warga bergantian memikul (menggotong) seorang ibu yang butuh pertolongan medis untuk melahirkan. Memikul, berjalan kaki dari kampung ke dermaga di pinggir sungai Sambas, lumayan jauh dengan jalan turun naik gunung. Tetapi, hal itu tidak menjadi halangan: Sang ibu dan anak dalam kandungan harus segera dibawa dengan kendaraan air ke Sambas.

Jika ada warga yang hajatan, warga membantu tenaga dan barang serta biaya. Bantuan tenaga diberikan mulai mencari kayu bakar, membuat tenda-tarup dan pentas,memasak kue dan makanan berat, menyajikan hidangan, hingga mengemasi kembali semuanya pasca acara. Bantuan ini disebut “Rewang”, istilah kerja gotong royong dalam bahasa Jawa.

Lalu, ada semacam arisan: setiap orang memberikan bantuan dan tercatat, kemudian bantuan itu akan “dibalas” jika yang membantu mendapat giliran mengadakan hajatan. Maka, acara apapun di kampung ini selalu menjadi publik. Acara bersama. Kesibukan dan masalah apapun di kampung, selalu menjadi masalah bersama.

Maka, tidak heran, kebersamaan ini mengikat kokoh masyarakat. Menjadi modal sosial yang luar biasa maknanya dalam kehidupan komunal mereka.
Sesuatu yang amat sangat mengagumkan. Sesuatu yang amat sangat harus dipertahankan.(*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

Menyusuri Sungai Sambas

HIPMI Kalbar Usung Semangat Siap Ekonomi Pulih di Era Disrupsi Digital