in

Nakhoda Anyar NU

Oleh: Khairul Fuad

Seketika tertawa bersama di pojok ruang ngopi sebuah hotel yang langsung berhadapan Gelora Bung Karno (GBK), tepat bersebelahan kantor Mas Menteri saat mengingat perhelatan muktamar di Pulau Andalas bersama seorang kolega yang ternyata aktif di Lesbumi. Mungkin menertawai diri-sendiri bersama yang tidak sama-sama membersamai di sana yang tengah ger-geran saat itu, bukan gegeran, kata Gus Menteri, untuk memilih kembali nakhoda kapal induk dengan nama lambung NU untuk periode lima tahun mendatang demi memecah laut menghalau ombak milenial.

Sepertinya, menertawai diri-sendiri tidak menjadi bagian atmosfer perhelatan besar di sana, mungkin alasan klise, hanya kaum kultural, bukan struktural. Sementara itu, ada rombongan tidak resmi dengan istilah romli dan romlah, rombongan liar penuh barokah, para penggembira demi ngalap berkah dari para masyayikh-nya yang tengah bermuktamar, tentu kaum kultural. Setidaknya ngopi waktu itu untuk mengingatkan sebagai bagian dari Nahdliyin.

Para nahdliyin dari berbagai kalangan menyerbu provinsi paling timur Pulau Andalas untuk sebuah hajat besar dengan maqsudul a’dlam (maksud besar), suksesi nakhoda baru. Memanajemi haluan dan buritan kapal induk itu kembali yang tengah bersandar di pelabuhan pascalima tahun periode sebelumnya berlayar. Mengompasi ulang dan menata ulang agar haluan dan buritannya tetap istikamah dengan jangkar blue-print NU, tawazun, tawasuth, dan tasamuh atas perubahan fenomena sosial-politik masyarakat, bahkan fenomena mondial yang telah mengglobal.

Pada gilirannya, kapal induk telah mendapatkan nahkoda anyar sama-sekali melalui pemilihan langsung dari para Nahdliyin yang memiliki hak sesuai payung tatib berlaku. Sejuta asa pasti dijangkarkan kepada nakhoda anyar untuk membawa kapal induk dengan berjuta-juta penghuninya ke pelabuhan harapan. Segala maruah organisasi dan masyarakatnya menjadi harga yang harus dipertaruhkan ke depan dengan segala tantangan yang semakin kompleks dan radiks.

Tantangan era disrupsi misalnya menjadi bagian yang tidak dapat dielakkan untuk dihadapi ke depan dengan segala risiko yang ditimbulkan. Tentunya, segala risiko itu sudah sangat dipahami melalui tradisi keilmuan usul fikih dengan kaidahnya, ridha’ fis sya’in ridha’un bima yatawalladu bihi. Dihadapkan oleh problematika maka secara implisit rela menanggung dampak yang pasti terjadi. Hoaks misalnya pasti dihadapi sebab dimaklumi adanya perubahan lanskap interaksi sosial.

Meskipun gelombang hoaks pernah menerjang kapal induk ini, termasuk para tokohnya, kemungkinan tidak menutup kemungkinan gelombang akan tetap bergulir. Jangankan ke depan, saat perhelatan muktamar saja masih ada pihak sehe-sehe-nya (mau-maunya), meminjam bahasa Melayu, menghembuskan gelombang hoaks. Sama halnya, keributan kecil saat proses suksesi pemilihan digoreng sedemikian rupa padahal dapat dibaca sebagai dinamika suasana semata.

Oleh karena itu, antisipasi dampak digital disebabkan disrupsi seperti keniscayaan sebagai alat navigasi kapal induk ini agar dapat meredam ombak digital yang semakin kejam. Kapal induk sebenarnya sudah dilengkapi alat navigasi tersebut semenjak gelombang hoak dan ujaran kebencian sering menerjang haluan, buritan, lambung kiri, dan kanannya. Alat navigasi peredam gelombang digital masih akan digunakan agar kapal induk ini membelah lautan digital dengan lancar dan tetap istikamah menjalankan segala hasil perhelatan muktamar ke-34.

Termasuk, antisipasi melalui tradisi keilmuan sudah juga dijangkarkan oleh para pinilih-nya melalui ngaji daring dari berbagai perspektif. Upaya ini untuk menyebarkan tradisi keilmuan secara luas sekaligus counter attack (serangan-balik) demi menjaga pondasi ahlussunnah wal jamaah. Dengan demikian, tradisi khas ala pesantren kaum sarungan kapal induk ini tetap dapat terjaga sekaligus dapat bersanding dengan kebaruan akibat fenomena disrupsi.

Kompas moderasi kapal induk ini menjadi bagian penting sebagai alat navigasi yang digunakan selama ini menghalau berbagai macam gelombang. Gelombang politik sampai gelombang disrupsi akhir-akhir ini sudah dapat dihalau dan upaya dihalau, apalagi gelombang politik sudah diredam gejolaknya meskipun riak-riaknya masih saja menerpa. Gejolak politik tampaknya gelombang yang harus diredam nakhoda anyar ini, seperti pernyataannya di beberapa media sosial.

Terkait gejolak politik kapal induk ini selalu diterpa gelombangnya, baik berupa ombak maupun riaknya dengan dampak langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, kepemimpinan nakhoda anyar ini seperti mengambil sikap untuk tidak melempar jangkar saat gejolak politik menderu, baik berupa ombak maupun riak saja. Gejolak tersebut tetap saja diterjang dengan potensi alat navigasi yang dimiliki selama ini apalagi telah berbekal kompas khittah 1984.

Upaya ini tampaknya langkah untuk menakhodai kapal induk jauh menjelajahi samudera luas lepas, lampaui batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menawarkan ide-ide bagi peradaban dunia yang lebih baik. Dengan kata lain, kemungkinan menawarkan Peradaban Islam melalui ide-ide yang digali dari turats Nusantara untuk perdamaian dunia. Langkah diambil ini tampaknya sudah dibarengi dengan modal, jejaring internasional yang dimiliki nakhoda teranyar ini.

Kapal induk ini sudah mulai angkat jangkar pascamuktamar ke-34, ngedok sebentar untuk membelah samudera kembali, tidak hanya di kepulauan Nusantara, tetapi tujuh samudera dunia untuk Peradaban Islam demi perdamaian dunia. Kemungkinan inilah upaya menjawab tantangan global, ngintira ning aja kintir, begitu istilah Jawa, hanyutlah tapi jangan terhanyut. Bisa jadi ke depan nanti bukan hanya UN (PBB) lembaga perdamaian dunia, melainkan NU dengan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basariah (persaudaraan atas kemanusiaan) sebagai konsep rahmatan lil alamin yang Mondial.

Sudut Rumah 261221
Penulis peneliti Balai Bahasa Kalbar

Written by teraju.id

Tanam Lagi di KHDTK Mandor

Chauvinisme Sepak Bola Tanah Air