in

Nilai Agama dan Dunia Maya

Oleh: Khairul Fuad

Di era sekarang era media sosial yang serba digital, perlu untuk diperhatikan dengan sangat. Era digital tidak lagi mulutmu harimau, tetapi jarimu harimau, kehati-hatian kini terletak pada jari sebagai sarana untuk ngeklik, tidak lagi mulut sebagai semata sarana berbicara untuk berkomentar. Jari kini bisa berkomentar dengan cara mengunggah sesuatu di media sosial, berpotensi dapat menyisakan masalah.

Di era tanpa sekat seperti sekarang ini dengan berbagai julukan diberikan, dari global village (desa global), borderless (tanpa batas), hingga julukan era disrupsi, menandakan era Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Informasi dan transaksi tidak hanya bersifat lokal, regional, dan internasional yang masih terdapat batasan, tetapi telah bersifat global mendunia tanpa batas negara, batas budaya, atau bahkan batas pemikiran. Semua saling bisa bertransaksi informasi.
Era kini yang seperti itu tidak dapat dielakkan, era yang hampir segala aktivitasnya berbasis teknologi informasi. Oleh karena itu, perlu mengambil sikap terhadap perubahan yang dapat diistilahkan dengan hanyutlah tetapi tidak terhanyutkan. Oleh karena itu, nilai agama menjadi kekuatan untuk tidak terhanyutkan demi mengatasi patologi sosial manusia zaman now. Nilai agama ibarat dayung untuk menghalau arus deras informasi yang semakin terbuka, dengan ibarat, agar sampan tetap melaju.

Nilai agama penting untuk mengerem segala tindakan dan menghalau segala perilaku agar tetap pada koridor yang sebenarnya karena mendasarkan kepada perilaku yang harus dan tidak harus dilakukan. Ejawantahnya kemudian dapat diterapkan dalam menjalani etika koridor teknologi informasi sehingga jari dapat terkontrol untuk harus dan tidak harus mengunggah demi tidak terperosok dalam lembah medsos.

Fenomena sosial sekarang ini ditandai dengan interaksi sosial yang sangat massif, difasilitasi oleh kanal-kanal media sosial yang beragam, seperti Facebook, Tweeter, Instagram, Youtube, dan lain sebagainya. Hampir semua kebutuhan hidup praktis difasilitasi oleh aplikasi berbasis gawai (android), yang dijamin hampir dimiliki semua orang demi menunjang kemudahan dalam kehidupan.

Fenomena sosial semacam itu tidak harus disingkiri, justru disikapi dengan hati-hati, karena dampak yang ditimbulkannya sangat berarti (signifikan). Media sosial itu seperti pisau bermata dua, mengiris dan menyayat dengan istilah, man behind the gun, tergantung orang di belakangnya. Jika bermedia sosial positif, irisan memberi bermanfaat, sebaliknya jika negatif, hanya menyisakan sayatan sembilu dengan menyisakan madarat.

Media sosial memang memberi kemudahan, hanya cukup klik satu jari tidak berat sama-sekali, unggahan (upload) bisa ke mana-mana mengelilingi dunia untuk disinggahi. Akan tetapi, kemudahan itu sangat perlu disertai kematangan kendali diri dengan menimbang berbagai dampak. Tanpa kendali hanya dipantik kemudahan klik dan kelancaran akses, khawatir unggaghan hanya akan menyisakan kesulitan di kemudian hari. Justru berurusan dengan pihak terkait penyidikan dan penyelidikan, berdampak tersendatnya akses kehidupan sehari-hari karena memenuhi panggilan dan bermediasi pada pihak kedua yang merasa dirugikan.

Jika kata sepakat tidak dijumpai, bakalan memenuhi panggilan pihak terkait berikutnya untuk dimintai keterangan guna nanti mendengarkan hasil penyelidikannya. Kemudahan akses layak untuk disertai pertimbangan semestinya agar tidak berefek domino di kemudian hari, hanya klik terpantik masalah pelik. Tampaknya, dapat dihubungkan antara media sosial dengan kaidah usul fikih, ‘idza ‘ittasa’at dhaqat wa ‘idza dhaqat ‘ittasa’at, jika tengah luas perlu dipersempit, jika sebaliknya perlu diperluas. Jika ngeklik itu mudah, perlu dipersempit melalui kendali diri demi mempertimbangkan kelayakan dan kepatutan saat mengunggah ke ruang media sosial.

Nilai agama hakikatnya memang bersifat vertikal karena berasal dari wahyu (God revelation). Hanya saja peruntukan utamanya mengatur kehidupan dunia yang bersifat horisontal dengan titik sentral manusia sebagai petunjuk (guidance) mana yang seharusnya dan seharusnya tidak. Seharusnya dan yang seharusnya tidak mengunggah di media sosial dapat ditunjukkan melalui nilai agama dengan menggali substansinya sebagai penyeimbang kekinian bernama media sosial.

Dengan demikian, nilai agama tetap perlu mewarnai dunia media sosial agar tidak terpental sekaligus tidak terjungkal di era media sosial. Nilai agama mendalam tetap mampu menjaga asa dalam ruang dan waktu yang berbeda, sebagaimana agama mampu memberikan warna di dunia media sosial demi memelihara rasa bijak sebelum ngeklik untuk mengunggah. Saring sebelum jejaring.
Sudut Rumah 091021
Penulis peneliti Balai Bahasa Kalbar

Written by teraju.id

Penguatan Partisipasi dan Kolaborasi Pelaku Usaha Dalam Rangka Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

The Real Exchange Student in Japan