Tragis. Meninggal karena tidak mendapat rujukan setelah 1 minggu keliling mencari RS yang selalu penuh. Hari itu, beberapa hari lalu, dua nyawa sekaligus melayang, ibu hamil masih muda, usia kehamilan 30 minggu dan bayi dalam kandungannya.
“Saya terpaksa berbohong bahwa saya memang positif Covid, sudah 1 minggu saya keliling cari RS tapi tidak ada yang bisa menerima karena saya hamil dan positif Covid-19.”
Karena sesaknya sudah tidak tertahan, akhirnya ibu hamil itu datang ke RS kami dan berbohong. Dan tahu sendiri akibat kebohongan ini (walaupun terpaksa), bidan dan perawat yang menolongnya beresiko tertular, rumah sakit semakin kekurangan tenaga kesehatan.
Sebetulnya saat datang denyut jantung bayi masih bagus, tapi operasi sesar tidak mungkin dilakukan di RS kami yang kamar operasi tidak tersedia untuk pasien Covid. Akhirnya ibu semakin sesak, dua nyawa, ibu dan anak itu sekaligus harus kehilangan nyawa. Tragis.
Hari lainnya, hanya sampai di parkiran RS, dua orang pasien dengan sesak berat kemudian meninggal, yang satu berusia 25 tahun, satu lagi usia paruh baya. Meninggal setelah dirawat di rumah entah berapa lama.
“Itu tadi ada pasien umur 30-an Dok datang ke klinik sesak, saturasi sudah 16. Ya, kita cuma bisa bilang segera ke RS. Akhirnya meninggal di jalan,” kata bu bidan.
Ibu hamil dengan Covid yang kesulitan cari RS dan akhirnya meninggal, menjadi berita dari teman-teman sejawat yang akrab di telinga sekarang. Nyesek. Sedih. Mau nangis. Tapi akhirnya saking sudah terbiasa menjadi hal yang biasa? Hanya sekedar deretan angka-angka? Padahal mereka-mereka itu adalah nyawa yang hilang dengan tragis.
Berita kematian yang berseliweran saat ini tampaknya kemudian hanya menyisakan helaan napas keprihatinan sesaat lalu selesai. Lalu hati seperti sudah terbiasa, kemudian membeku dan hanya tersenyum getir melihat angka-angka kematian yang tidak kunjung turun. Padahal ada puluhan ribu nyawa yang menghilang di sana. Mereka adalah ibunya anak-anak kecil yang harus jadi piatu, ayahnya remaja-remaja yang masih perlu figur dan kasih sayang seorang ayah. Kakek neneknya para cucu yang begitu tulus mengasuhnya dan puluhan ribu tulang punggung keluarga yang kemudian terenggut begitu saja.
Ya memang sih namanya juga pandemi. Negara lain bahkan negara maju juga kehilangan banyak nyawa dan sistem kesehatannya collaps juga, sama saja, ya udah sih. Di negara lain covidiot juga banyak, sama saja. Ya udah sih, namanya juga pandemi. Ga usah lebay. Ga usah diberitain terus soal Covid. Capek tau!
Hah? Namanya juga pandemi? Ga usah lebay? Sesederhana itu? Semembeku itu kah si empunya hati yang bicara? Puluhan ribu nyawa tulang punggung keluarga loh yang hilang ini, dalam waktu singkat, dalam hitungan bulan dan minggu. Memang sih ini sedang pandemi. Tapi kan kita bisa belajar dari negara-negara yang berhasil menangani pandemi ini dengan baik sehingga sistem kesehatan ga colaps, sehingga tidak harus banyak kematian tragis terjadi.
“Rakyatnya sih bandel ga patuh 5 M, informasi yang bener kan sudah banyak di media.” Infodemic memang sangat banyak, seperti air bah. Luar biasa menggerus dan memengaruhi isi kepala satu persatu manusia. Tapi apakah sudah maksimal usaha yang dilakukan untuk meredakan pandeminya?
Informasi dari influencer seperti Jerink, dokter Lois, pakde Indro, IG telor dan lain-lain yang membuat lengah dan meremehkan Covid19, yang ‘meng-endorse kematian’ itu kenapa masih saja merajalela? Kenapa kita, dan terutama para sepuh sangat gampang sekali percaya dengan berita dari whatsapp yang ada di layar hape kita lalu dengan gampang pula membagikannya kembali. Sudahkah ada yang secara masif membantu mendebunknya? Sudah sampaikah informasi yang benar kepada masyarakat yang tidak punya hape, tidak suka baca berita sosial media?
Di Singapura, ada whatsapp khusus milik pemerintah yang berusaha mendebunk informasi sesat seputar Covid-19, khusus whatsapp. Di India, ada LSM yang menggerakkan ratusan orang untuk jadi buzzer penyanggah berita hoaks khusus whatsapp. Jadi begitu ada berita hoaks tersebar di whatsapp seputar covid, LSM ini segera menggerakkan timnya untuk konsul pada ahlinya, segera membuat video dan menulis teks dan pro aktif menyebarkannya via whatsapp untuk menyanggahnya. Bahkan ada tim yang berjalan door to door menjelaskan informasi tentang pentingnya vaksin dan menyanggah berita hoaks Covid lainnya bagi mereka yang tidak mengakses sosial media. Di Zimbabwe, mereka bikin penelitian yang mengaminkan bahwa indeed informasi yang tumpah ruah di whatsaap berbahaya, tapi ternyata orang-orang masih percaya koq sama info yang benar yang dikirim dari pemerintah dan badan internasional. Dan akhirnya, mereka menyelamatkan banyak nyawa.
Bagaimana dengan di negara kita? Di Indonesia memang sudah ada website-website yang mendebunk hoaks seputar Covid-19, tapi rasanya belum ada yang khusus proaktif jadi buzzer penyanggah hoaks di whatsapp. Padahal efek hoaks di whataspp ini luar biasa. Yang sudah ada pula adalah buzzer-buzzer di twitter atau instagram tapi isinya saling caci antara yang pro dan kontra, dengan cara memukul bukan merangkul. Bisa ga ya dibuat buzzer penyanggah hoaks khusus whatsapp tapi dengan bahasa yang adem dan merangkul?
Di Indonesia, kenapa pula dokter Lois yang nyata-nyata tidak percaya covid dan ‘mengendorse kematian’ akibat menyuruh masyarakat ga usah pake masker malah diundang masuk TV? Kenapa IG si telor-telor di IG masih hidup aja, kenapa Jerink yang habis keluar dari penjara dan influencer lain yang meremehkan Covid19 masih aja bisa ngomong semaunya? Kenapa banjir informasi hoaks tentang covid di whatsapp dan youtube yang dipercaya terutama kebanyakan kaum sepuh ini masih aja terus menggila?
Indonesia yuk semangaat, kita pasti bisa mengatasi semua badai ini. Tapi gimana caranya? At least yang pinter-pinter di bidang informasi dan hukum, harusnya punya cara untuk setidaknya meredakan para ‘peng-endorse kematian’ ini untuk berhenti bicara. At least kita masyarakat biasa remahan rengginang ini, bisa untuk mematuhi prokes dan stay di rumah saja kecuali penting banget.
Supaya tidak ada lagi kisah ibu hamil dan bayinya harus tragis meregang nyawa. Supaya daftar kematian tidak harus terus bertambah sehingga makin membekukan hati kita karena melihatnya sebatas angka-angka.
Kasihan. Mereka punya keluarga. Mereka adalah tulang punggung keluarga. Mereka meninggalkan anak-anak yang tak punya lagi orang tua dan entah masa depannya akan seperti apa.
Semoga masih ada hati yang tergerak, dan tidak hanya diam saja melihat daftar panjang kematian dimana-mana. Paling tidak tetap berusaha menjaga 5M-nya dan tidak ikut serta menjadi ‘peng-endorse kematian’ manusia-manusia di sekitarnya.
(dr. Agnes Tri Harjaningrum, Sp.A adalah seorang Dokter Anak di RS Permata Depok)