Oleh: Khairul Fuad*
Kesempatan menginjakkan kaki di kota lumpia Semarang, meluangkan waktu berkeliling di sudut-sudutnya yang sama sekali sudah berubah. Sudut tersebut sudah tersentuh oleh penataan sesuai kebijakan pemerintahan terkait sehingga kenyamanan mata dan langkah dapat dijadikan jaminan. Misalnya, bangunan-bangunan terkait emosional perjalanan sejarah Kota Semarang, tampak tersentuh upaya revitalisasi, selain menambah elegansi sebuah kota, juga menyedot animo masyarakat untuk menyambanginya, baik kalangan turis lokal maupun internasional.
Sudut dengan bangunan-bangunan yang direvitalisasi sekarang, sering disebut kota lama dengan ikon sebuah gereja tua peninggalan Belanda, warga Semarang menyebutnya Gereja Blenduk. Bangunan itu terdapat atap yang menyerupai kubah bulat bangunan masjid, bentuk bulat disebut blenduk oleh orang Jawa, mayoritas warga Semarang. Sebagaima Lawang Sewu berarti pintu seribu untuk menyebutkan kantor kereta api peninggalan Belanda, yang berada di sebuah jalan protokol, tepat di depan ikon Kota Semarang, Tugu Muda
Kemudian, tidak jauh dari kompleks kota lama terdapat kompleks pecinan (China town) yang berdekatan langsung dengan Pasar Djohar Kota Semarang. Di sekitaran pasar tersebut terdapat juga masjid bernama Masjid Jami’ Kauman dengan alun-alun (aloon-aloon) yang mendapat sentuhan revitalisasi juga, dikembalikan fungsi awalnya sebagai tanah lapang. Tentu, luasnya tidak seluas alun-alun pada masanya, tetapi setidaknya telah mengembalikan identitas Kota Semarang.
Kompleks pecinan tersebut terdapat beberapa blok bangunan yang diantarai, baik oleh jalan besar maupun gang-gang kecil. Setiap bangunan tersebut terbagi oleh beberapa ruangan, baik besar maupun kecil terpisah oleh dinding tembok sebagai tempat tinggal, sering disebut bangunan kopel. Tentunya, ikon kuat kompleks tersebut adalah berdirinya beberapa klenteng , baik besar maupun kecil, tempat ibadah kaum Tionghoa Semarang dengan dominasi warna merah.
Suasana pecinan seperti itu hampir setali tiga uang dengan suasana di seputaran Kota Singkawang Kalimantan Barat. Jika tidak bisa dipersamakan, setidaknya kemiripannya dapat dibuktikan dengan pandangan mata telanjang. Tempat ibadah menjadi pandangan kasat mata kemiripannya meski penamaan yang berbeda. Di Semarang disebut klentheng, sedangkan di Singkawang disebut pekong.
Kompleks bangunan dan gaya tata-ruang memiliki kesamaan dan kemiripan. Setidaknya yang pernah merasakan pecinan Semarang akan mengatakan sama dengan kompleks masyarakat Tionghoa Singkawang atau sebaliknya saat berkesempatan mengunjunginya. Kesamaan dan kemiripan itu dapat dimaklumi karena didasari oleh tradisi yang sama sehingga wajar muncul pengetahuan sama meskipun kemungkinan besar terdapat irisan berbeda karena tumbuh pada lingkungan sosial yang berbeda.
Irisan berbeda semacam ini merupakan bagian tak kasat mata yang sangat diperlukan pendekatan-pendekatan tertentu sesuai kaidah ilmu pengetahuan terkait. Proses akulturasi menyebabkan temuan terdapat perbedaan meskipun berasal dari kultur yang sama. Misalnya, yang mudah saja keberadaan warung kopi (warkop) hampir terdapat di setiap sudut Kota Singkawang, sedangkan di Pecinan Semarang, hampir sulit dicari keberadaannya.
Menariknya, pecinan sebagai kompleks, baik di Singkawang maupun Semarang menjadi episentrum transaksi jual-beli perdagangan. Gambaran sederhananya, hampir semua bangunan di kedua wilayah tersebut digunakan oleh pemiliknya untuk proses perdagangan, baik transaksi wilayah sekitar maupun wilayah yang lebih jauh. Terlepas berbagai kendala, masyarakat Tionghoa memang sepertinya memiliki tradisi tata-kelola perdagangan.
Salah satu sudut gang di pecinan Semarang digunakan sebagai pasar dari sepanjang kedua ujung gang tersebut. Pastinya keberadaan pasar tersebut terdapat catatan sejarah sehingga sampai detik ini selalu menjadi tempat traksaksi jual beli, terutama dari pagi hingga siang hari. Masyarakat Semarang sering menyebutnya Pasar Gang Baru, menawarkan segala kebutuhan, terutama pangan dari asam di gunung sampai garam di laut, kepada para pembeli.
Saat melintasi sepanjang jalan gang tersebut dipenuhi para pedagang yang menawarkan barang dagangannya, hanya menyisakan jalan setapak bagi para pembeli. Sementara iru, rumah-rumah yang berderet sepanjang gang tersebut mayoritas dihuni oleh kaum Tionghoa, yang juga difungsikan sebagai toko untuk menawarkan dagangannya. Sangat terasa atmosfer nadi perdagangan sekaligus bukti mutualisma antarpedagang, baik yang di rumah maupun yang di depannya.
Apalagi, yang di depan rumah mayoritas beretnis lain, yaitu Jawa maka mutualisma menjadi signifikan dengan meleburnya kendala budaya masing-masing yang besar kemungkinan bertabrakan. Titik luluh (melting point) perdagangan menjadi common-platform (etika global) antaretnis dengan budaya berbeda demi membangun mutual yang saling menguntungkan secara ekonomi, kemungkinan besar secara sosial juga. Kurang lebih fenomena sama terjadi juga di Kota Singkawang, mutualisma dengan Melayu dan Dayak sebagai mayoritas masyarakat Kalimantan Barat.
Perjalanan budaya waktu itu seperti tersaji irisan-irisan sama antara Singkawang dan Semarang melalui tradisi masyarakat Tionghoa. Kompleks pecinan menjadi penanda kuat yang menyiratkan kemiripan infrastruktur, baik kasat maupun tak kasat mata. Meskipun, dijumpai perbedaan, seperti keberadaan warung kopi yang kasat mata, begitu juga perbedaan dan irisan pada hal tak kasat mata, seperti pengetahuan dan tradisi sebagai kearifan lokal yang perlu kajian tertentu. Pada akhirnya, terbersit firman Tuhan, “dijadikan bersuku dan berbangsa untuk saling mengenal” (QS al-Hujurat: 13).(*Penulis sivitas BRIN Program Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan)