Oleh: Nur Iskandar
Ada tiga doa yang mesti kita kerjakan setiap saat. Pertama berdoa dengan diri sendiri secara khusuk kepada Allah agar kita tidak tergolong kepada hamba-hamba yang sombong. Sebab hanya orang yang sombong yang tidak meminta kepada Allah SWT.
Kedua mendoakan orang lain. Sebab mendoakan kebaikan itu gratis. Tetapi pahalanya sangat besar, sebab setiap ucapan yang baik juga adalah doa di mata Allah SWT.
Ketiga, minta didoakan oleh orang lain. Kenapa minta didoakan oleh orang lain? Karena kita tidak tahu dari siapakah gerangan doa atau harapan itu dikabulkan oleh Allah SWT.
Tausiah tentang doa dari Pimpinan Pondok Pesantren–Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan Ashabul Yamin–KH. Lukmanul Hakim, SE,MM itu selalu mengiang di dalam dada. Ada rasa rindu untuk bertemu. Tetapi Kyai muda, 38 tahun alumni Pondok Pesantren Gontor Darussalam-Ponorogo, Jawa Timur tersebut super sibuk keliling Indonesia untuk memenuhi dahaga umat dalam mendengarkan mutiara hikmah darinya.
Saya terakhir kali berjumpa KH. Lukmanul Hakim di hari raya Idul Fitri beberapa bulan yang lalu. Ketika itu kami berpapasan di Jl Imaduddin.
Melihat mobil putih saya menglakson. Sejauh pengetahuan saya, mobil mobil keren di sekitaran Mesjid Kapal Munzalan adalah milik para pegiat mesjid yang terkenal di seantero Indonesia karena program fenomenal Gerakan Infak Berasnya yang telah menyentuh 90 kota dan kabupaten serta menyentuh 3.000 pondok pesantren dengan beras kualitas terbaik. Sebuah gerakan yang bukan kaleng-kalengan! Figur muda yang berhasil menggerakkan 2.500 pasukan amal shaleh serta memberikan manfaat langsung kepada lebih dari 400.000 santri di seluruh Indonesia. Ada rasa rindu untuk minta didoakan oleh beliau rahimakumullah.
Klakson saya berbalas. Seperti layaknya nada Assalamu’alaikum dijawab Wa’alaikum salam. Bahkan kaca hitam jendela terbuka. Lebih dari itu ada tangan tangkas keluar melambai, seolah memanggil-manggil.
Saya melihat dari kaca spion di bagian atas yang diperuntukkan bagi para sopir melihat kendaraan di belakang. Saya menepi. Ngerem. Dan tentu saja segera mengamati lambaian dari mobil putih yang juga ngerem serta menepi itu.
Brak, pintu mobil saya buka, turun, dan nyaris setengah berlari menuju ke arah mobil putih. “Ooh Ustadz Lukman,” kata saya lirih.
Ketika sampai dari jarak mobil lebih kurang 100 meter, benarlah bahwa tangan hebat yang melambai itu adalah KH. Lukmanul Hakim, ustadz favorit kawula muda yang kerap kali tampil di Damailah Indonesiaku TV-One.
“Mau kemane Bang Nuris?” suara khasnya berlanggam Melayu Pontianak kental.
“Mau berlebaran Ustadz…”
“Samelah. Ini memang hari saling berkunjung. Saye pon nak ke Lampung gak, tempat mertue,” katanya sambil mengangkat sebuah hampers.
“Ini untuk Bang Nuris. Salam buat keluarge,” tambahnya.
Kami berjabat tangan. Cium tangan. “Minta doa. Tolong didoakan ya Ustadz…”
Sebelum kami berpisah. Kyai santun yang lebih memilih keluar dari dalam mobilnya sempat merogoh saku. Selembar kertas warna merah dia ulurkan ke tangan putra sulungnya, “Ini serahkan ke Tok Yes.”
Si sulung yang berambut ikal pun cekatan menyerahkan,seraya tabik unjuk salam.
“Ngape pulak ngasik duet segale neh?” kata saya tersipu malu tapi mau hehehe…
“Ndak ape, ini ngajar anak supaye rajin sedekah,” timpal Ustadz Lukman.
Sejak malam Selasa, hingga tiga hari berturut-turut putra saya Jibi mengikuti latihan karate untuk kenaikan tingkat dari ban putih ke ban kuning. Jibi kelas 2 SD Mujahidin. Tempat latihannya di Kompleks Mitra Indah Utama 2 Jalan Sungai Raya Dalam. Waktu latihan pukul 19.00-20.00 WIB. Waktu yang bertabrakan dengan jadwa shalat Isya.
Hari pertama malam Selasa saya shalat Isya di mesjid dalam Kompleks Mitra Indah Utama 2 Serdam (Sungai Raya Dalam) yang tembus ke arah Paris (Parit Haji Husin). Hari kedua saya mulai berpikir bahwa anak sudah familiar dengan rumah Bu Witur sang pelatih berikut puluhan siswa yang bakal ujian kenaikan tingkat. Saya jadi punya banyak waktu untuk memilih sholat Isya berjamaah di mana? Bisa ke Mesjid Quba yang dipenuhi Jamaah Tablig kawasan Jl Parit Haji Husin. Bisa ke Mesjid Alfurqan yang dimiliki Perguruan Muhammadiyah juga di Paris. Bisa ke Mesjid Ikhwanul Mukminin Sungai Raya Dalam yang megah dengan daun pintu utamanya adalah wakaf dari Gubernur Sutarmidji atas nama ayahandanya HM. Tahir. Atau bahkan bisa ke mesjid besar seantero Sungai Raya Dalam, Darunnajah. Tapi satu hal yang mengeduk-eduk perasaan, Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan! Mesjid ini mesjid kawula muda. Mesjidnya Kyai Lukman bersama HM Nur Hasan dan kawan-kawan…Di sini waktu iqomah dari azan agak lama, sehingga leluasa untuk jamaah sholat sunnah. Tidak terburu-buru.
Keistimewaan yang lain adalah jamaahnya dipenuhi remaja dan pemuda. Mesjidnya ramai dan makmur. Suasana kiri-kanan terang benderang. Karpetnya hijau tebal. Ruangannya sejuk dan bersih. Harum mewangi pula. Terasa sekali kalau kita masuk ke dalam mesjid yang dikelola dengan sebaik-baiknya.
Pada malam Rabu itu saya berada di shaf terdepan agak ke kiri dari sisi imam. Imam yang tampil di depan sungguh masih sangat muda, tetapi bacaannya sangat fasih dan merdu sehingga membawa kepada kekhusukan sekaligus kenikmatan di dalam menghadap ke haribaan Tuhan.
Walaupun shalat Isya disunnahkan membaca ayat yang panjang-panjang dengan standar Annaba (QS 78) atau sekira sepanjang QS Al Buruuj dan Ath Thoriq, imam muda satu ini cukup membacakan surah-surah pendek, yakni QS Al Insyirah di rakaat pertama dan An-Nashr di rakaat kedua. Tetapi kekhusukannya “sangat dapat”. Nikmat. Alhamdulillah.
Pada malam Kamis, imam yang maju ke depan lebih gaul lagi. Kalau malam sebelumnya mengenakan kain sarung dan baju koko serta kopiah, kali ini imamnya tak kalah muda, tetapi hanya mengenakan celana panjang! Namun bacaannya, mak, maut! Al Waqi’ah! Surah tentang kiamat!
Jangan ditanya soal makhraj hurufnya. Maknyos. Jangan ditanya soal lagunya, merdu! Makmum seperti mengikuti murottal Alquran yang dibacakan sheikh-sheikh Mekah dan Madinah. Subhanallah. Rasanya ingin mendengarkan sampai 98 ayat dibaca tuntas dalam dua rakaat. Tetapi imam muda ini sangat bijaksana, pada rakaat pertama diwaqafkan (pause/berhenti) sampai kisah Almuqarrabin dijamin Allah di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan di rakaat kedua diwaqafkan sampai jaminan Allah kepada golongan kanan alias Ashabul Yamin. Adapun lanjutan kisah tentang Ashabul Syimal alias golongan kiri, mungkin akan dibacakan pada saat sang imam tampil memimpin sholat-sholat jahr berikutnya.
Saya takjub! Dalam waktu 11 tahun berdirinya Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan telah produktif menghasilkan imam-imam muda seperti ini?! Sebuah metamorfosis jika belum laik dikatakan revolusioner. Kok bisa?
Jawaban sesuai amatan saya disebabkan Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan menjadi “agent of social change”. Agent perubahan sosial! Agent perubahan sosial yang digerakkan oleh anak-anak muda yang menancapkan prinsip ketaatan dan keteladanan.
Anak muda itu dikomandoi oleh alumni Pondok Pesantren Gontor Darussalam, Ponorogo, Jatim, Ustadz Lukmanul Hakim. Sosok yang begawan ilmu ke-Islaman, namun santun dalam keseharian. Jangankan kepada sesama dan orang tua, kepada anak-anak kecil saja almukarram rela cium tangan. “Sunnah Rasulullah,” urainya suatu ketikamencontohkan ketaatan dan keteladanan.
Imam muda pembaca Alwaqiah sama dengan imam Isya sehari sebelumnya, seusai salam langsung memimpin dzikir secara jahar atau keras. Begitulah kebiasaan di pondok-pondok pesantren, sebab di dalam dzikir jahar itu terkandung pula banyak pembelajaran, termasuk hapalan.
Kondisi dzikir jahar ini menjadi istimewa di Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan karena di sana memang warna pondok pesantrennya sangat kental. Berbeda dengan mesjid-mesjid pada umumnya, semakin ke sini semakin banyak yang dzikir shirr (dalam hati) masing-masing dengan alasan jamaah yang heterogen, majemuk, banyak keperluan mendesak, yang tentu berbeda dengan kebutuhan jamaah pondok pesantren nan homogen.
Saya tahu putra saya akan bubar 1 jam kemudian. Maka bisa dengan leluasa menikmati dzikir dan doa yang sangat panjang dari para santri penghapalquran Mesjid Kapal Munzalan Mubarakan Ashabul Yamin. Sebab doa adalah saripati ibadah. Semakin panjang doanya akan semakin baik bagi kita sebagai makmum, sebab kesempatan meminta kepada Allah lewat lisan orang lain mengingatkan kita pada perkataan Ustadz Lukman, “Doa kita tidak tahu dari lisan siapa diijabah oleh Allah SWT.”
Baru saja terngiang nama Ustadz Lukman, ketika doa berakhir dengan menyapu muka, para jemaah berhambur ke belakang. Mereka ternyata menyalami figur sentral Munzalan Mubarakan, KH. Lukmanul Hakim. Sosok ulama yang lebih memilih menjadi makmum dan mendengarkan bacaan para santri daripada harus selalu tampil di depan.
Saya hanya melihat dengan ekor mata, sebab sudah kadung ambil takbir buat sholat bada Isya. Terus terang ada rasa cemburu bakal tidak dapat beruluk salam dengan almukarram yang insya Allah–Allah titipkan kemuliaan pada dirinya–Amiin ya Robbal ‘alamiin–karena super sibuknya. Bisa jadi hanya sempat mendengar sebentar, lalu yang bersangkutan lindap ditelan kesibukan.
Tetapi qadarullah, sholat bada Isya ini mesti fokus. Anasir uluk salam biarlah lepas. Hati harus ikhlas.
Di sekeliling saya perhatikan masih banyak muda-mudi yang melanjutkan dzikrullah. Caranya dengan mengambil rehal dan mengaji quran.
Saya menuju pintu, hendak ke posisi parkir sandal. Namun qadarullah, Ustadz Lukman terpacak di depan pintu keluar. Beliau didampingi putra sulungnya yang berambut ombak.
Sosok kyai muda pop ini mengenakan sarung dan baju koko berwarna gelap. Selaras dengan kopiah hitam yang dikenakannya. Ganjilnya adalah hampers berbungkus putih lagi-lagi dalam jinjingannya.
“Tadi sehabis sholat saye tengok eh ade Tok Yes. Kebetulan pakai baju warne biru, cepat-cepat saye balek kerumah dan ambil ini, mudah-mudahan Tok Yes suke,” katanya seraya senyum.
Masya Allah … Begitu murah hatinya sang kyai…Hampers itu saya terima dengan baik seraya beruluk salam dan cium tangan.
“Masya Allah. Tentu suke Kyai,” kata saya sambil mendengarkan Ustadz Lukman memberikan beberapa uraian dan sesekali beberapa jamaah menghampiri kami dan beruluk salam dengan kyai yang baru saja menjejakkan kakinya di Bumi Khatulistiwa setelah sepekan berdakwah ke Sumatera dan Jakarta. “Kami agik tausiah sambil berdiri niah,” kata Kyai Lukman seraya senyum. “Pengajian sambel berdiri,” timpalnya. * (bersambung)