in

Ramadan: Terbenamnya Matahari, Puncak Kenikmatan Hakiki

Oleh : Syarif Ali*

Ramadan merupakan bulan spesial dengan kekhususan. Bulan dimana akan dilipat gandakan pahala dari segala aktivitas yang memiliki esensi kebaikan. Dalam bulan ini umat Islam berlomba-lomba untuk memaksimalkan kegiatan yang mendatangkan pahala lebih dari pada bulan-bulan lainnya dan menunggu waktu yang selalu diterjadwalkan.

Menanti-nanti merdunya suara adzan Magrib merupakan momen yang hanya hadir setiap bulan dalam setahun. Berkumpul bersama saudara, teman dan sahabat untuk menanti tenggelamnya ufuk cahaya cakrawala. Proses sebelum hal tersebut berlangsung terdapat kisah yang berbeda menjadikan sebuah makna tersendiri, agar terkesan bahwasanya telah melaksanakan proses berperang sesuai dengan jalur garis finish yang telah ditentukan yakni menahan segala hawa nafsu dengan berpuasa.

Dalam proses tersebut banyak godaan yang tidak dapat diprediksi. Saat proses menjalankan puasa, godaan sangat luar biasa menyerang fikiran, hati dan nafsu untuk bertindak. Mungkin kita juga merasakan hal itu, di kala melintasi sebuah keramaian dan menerima ajakan teman untuk menikmati segelas minuman segar yang menggugah nafsu. Pikiran merangsang bahwasanya hal itu adalah godaan sebagai bentuk kenikmatan. Kenikmatan tersebut hanya sebuah desakan pikiran untuk melampiaskan kenikmatan yang bersifat sementara. Padahal bukankah kenikmatan itu selalu berada di puncaknya, sesuai dengan yang telah ditentukan.

Baca Juga:  Installing Optimism : Ramadan Bulan Penempaan Diri

Hal tersebut yang dimaksud ketika berperang dalam melawan hawa nafsu merupakan perang yang sesungguhnya. Memperkokoh iman untuk tetap bertahan baik dari tingkah laku, ucapan maupun menahan bentuk emosional yang ada pada dirinya. Menghindari hal tersebut bukan berarti salah satu cara agar puasa dianggap berhasil, seperti contoh tidurnya seseorang yang berpuasa mendapatkan pahala bukan dalam artian untuk bermalas-malasan seharian di atas kasur tanpa melakukan aktivitas agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga keutuhan puasanya. Penuh pemahaman yang medalam terkait hal tesebut.

Bukankah kita merasakan adanya perbedaan ketika melaksanakan puasa secara maksimal dengan melaksanakan puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga. Hal itu yang membuat kenikmatan hakiki dalam berpuasa sehingga tidak bisa kita ukur dengan kenikmatan duniawi yang bersifat sementara.

Setidaknya mari kita tingkatkan kenikmatan itu sampai akhir Ramadan sampai penghujung bulan. Sehingga dihari kemenangan menjadi sebuah keberhasilan kita dalam berperang melawan hawa nafsu selama satu bulan. Tiada arti bermewah-mewahan saat merayakan kemenangan nantinya. Biarlah Iman yang mengatakan privasi di dalam diri. “Idul fitri bukanlah dengan baju baru, Akan tetapi dengan Ketataan Yang Luar Biasa.(*Dosen Manajemen Dakwah IAIN Pontianak/Akademi Riset LP2M IAIN Pontianak)

Baca Juga:  Ramadan Refleksi Hati dan Pikiran

Written by teraju.id

Pengalaman Ramadan 2023

Installing Optimism : Ramadan Bulan Penempaan Diri