in

Sahur dan Anak Rantau

Oleh: Putri Nurul Aini*

Ramadan bulan yang begitu istimewa dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, sebab di bulan ini sebulan penuh kita bangun sebelum subuh untuk sahur. Kesan saya sih begitu, dan saya yakin ada ratusan juta umat Islam di muka bumi yang berpikiran yang sama. Sahur di bulan yang penuh barokah, sebagai bagian dari sikap kita umat Islam yang berharap pahala, rahmat dan pengampunan dari Allah Swt. Tidak hanya disambut dengan rasa syukur dan bahagia saja, akan tetapi masing-masing umat Islam memiliki berbagai cara dan persiapan dalam sahur di bulan suci ini diantaranya bangun pagi-pagi menyiapkan makanan dan minuman untuk sahur. Tentu saja ini bernilai pahala, seperti yang telah saya singgung.

Ramadan yang diawali dengan sahur dan diakhiri dengan berbuka menjadi kesan dan pesan yang dirasakan oleh masing-masing umat Islam. Kaitan dengan ini, sahur sendiri adalah ibadah yang mendapat legitimasi dari hadits Nabi Muhammad Saw. Misalnya, dalam suatu hadits disebutkan, “Bersahur itu adalah suatu keberkahan, maka janganlah kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur (makan sahur),” (HR Ahmad).

Baca Juga:  Menyambut Puasa dengan Bahagia

Sebagai anak rantau Sahur, terutama sahur pertama, menjadi alasan utama untuk berkumpul bersama keluarga agar semangat menjalani puasa, dan tentunya terasa lebih menyenangkan.

Lain halnya dengan seorang anak yang jauh dari orang tuanya atau yang biasa kita sebut dengan anak rantau mempunyai kesan yang berbeda, karena suatu kewajiban yang harus ia jalani yaitu menuntut ilmu, membuat ia harus mandiri dalam melakukan sahur pertama dengan mempersiapkan segala kebutuhan sahur yang diperlukan olehnya. Akan tetapi, jauh dari orang tua bukanlah menjadi penghambat bagi anak rantau untuk tidak semangat dalam menyambut bulan Ramadan yang penuh berkah ini.

Kesan sahur pertama yang dijalani sendiri oleh anak rantau, seperti saya, membuat saya harus lebih mengupgrade diri agar bisa mandiri. Setidaknya, pandangan ini lebih membahagiakan. Ketimbang mengutuk kegelapan, lebih baik mencari lilin untuk dinyalakan. Jadi, selalu ada hikmahnya. (*MahasiswiIAIN Pontianak/ Akademi Riset LP2M IAIN Pontianak)

Written by teraju.id

Paskah dan Kasih dalam Keluarga

Semarak Bulan Puasa Pasca Pandemi