in

Sandiwara Corona dan Pengajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi

Oleh: Yusriadi

Tulisan ini hanyalah refleksi singkat sebagai orang yang mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Saya persembahkan untuk pembaca sebagai bahan renungan bersama.

Sejak pandemi covid-19 melanda dunia, dan kemudian wabah itu sampai ke daerah ini, praktis kegiatan belajar mengajar mengalami penyesuaian. Kegiatan tatap muka ditiadakan. Tugas diperbanyak agar mahasiswa bisa belajar mandiri. Sedangkan nilai dipermudah karena ada toleransi.

Kebijakan ini bukan hanya terjadi di perguruan tinggi. Di SD, SMP, hingga SMA, kebijakan ini berlaku.

Mahasiswa dan siswa sebenarnya sangat diuntungkan di satu sisi. Mereka lebih “merdeka” dengan berbagai tafsiran. Jika sisi “mudah” yang dipakai, corona memudahkan mereka karena tugas-tugas bisa dikerjakan orang lain.

Di SD dan SMP, kesibukan “belajar” khususnya mengerjakan pekerjaan rumah (PR) sering dibagi kepada orang tua. Bukan rahasia lagi ada ungkapan getir ibu-ibu: “Siapa yang sekolah, siapa yang belajar?”

Kalau pun dikerjakan sendiri oleh pelajar, tugas-tugas tertentu dibantu full oleh Mbah Google. Cukup tersedia kuota –karena mereka sekarang ini memiliki hape—siswa, apalagi mahasiswa, bisa menemukan apa yang mereka butuhkan di mesin pencari itu. Alhasil, beres.
Copy paste dan PR mereka beres. Nilai mereka juga beres.

Baca Juga:  Apakah Bahasa Indonesia-Melayu, Bahasa Internasional?

Guru atau dosen umumnya tidak mempersoalkan jiplak atau bukan. Tidak dapat dipersoalkan.

Apapun bentuknya, siswa atau mahasiswa tetap “harus lulus”.

“Kita harus harap maklum,” begitu kira-kira redaksinya.

Harap maklum penting karena kalau plagiasi menjadi dasar etik penilaian hasil belajar dalam suasana normal, pasti banyak pelajar yang gagal. Atas nama situasi tidak normal pelanggaran etika kejujuran ini harus ditolerir. Begitulah skenario yang harus diikuti. Guru bermain peran sebagai “pura-pura seperti guru” dalam menilai hasil belajar di masa pandemi.

Kini corona sudah berlalu. Situasi (di ambang) normal. Pembelajaran tatap muka sudah dilakukan.

Beberapa kali pertemuan di kelas, saya merasakan sisa “sandiwara corona” sangat terasa. Semangat murni belajar masih belum pulih. Banyak yang masih belum benar-benar mau belajar. Copy paste masih menjadi pilihan sekalipun sudah diingatkan.

Saat menulis ini, saya teringat kejadian terbaru. Baru-baru ini kami menyelenggarakan lomba penulisan esai tentang bahasa ibu dan bahasa Indonesia. Kolega yang menjadi pembaca sempat “berteriak”: Banyak copya paste!

Baca Juga:  Upaya Menginternasionalkan Bahasa Indonesia

Para penulis, mahasiswa kami, mengambil bahan-bahan dari internet, dan jejaknya bisa terbaca melalui chek plagiasi. Sedikit sekali angka similarity di bawah 30 persen.

Nampaknya, dan secara bercanda saya menyampaikan perlunya skenario baru mengganti skenario corona. Setidaknya, upaya ini dapat menjadi permulaan mengembalikan kesadaran mengenai kejujuran akademik yang sebagiannya sempat hilang. Bagaimana menurut Pembaca?(*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

Ingin Berkarya dan Menjaga Bahasa Ibu

Penataan Kawasan Temajuk Batas Negara